Oleh:
Ebenezer Parulian
Dabukke, S. Pd. K dan DanielSihotang
Tanggung Jawab Orangtua
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau ada
sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.[1]
Musa memaparkan kepada orang Israel tentang intisari perintah-perintah Allah,
dimana perintah-perintah Allah itu harus diajarkan kepada anak-anak mereka
menghormati dan menaati Allah. Oleh
karena itu tanggung jawab dapat disimpulkan sebagai suatu keharusan yang harus
dilaksanakan/dikerjakan dengan maksimal oleh seseorang atau kelompok terhadap
sesuatu/atau seseorang atau kelompok.
Orangtua
adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil
dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua
memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya
untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam
kehidupan bermasyarakat. Alexander A. Schneiders mengemukakan bahwa keluarga yang ideal
(fungsional-normal) ditandai oleh ciri-ciri:
a)
Minimnya perselisihan antar orangtua atau orangtua-anak.
b)
Ada kesempatan untuk meyatakan keinginan,
c)
Penuh kasih sayang,
d)
Penerapan disiplin yang tidak keras,
e)
Ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam
berpikir, merasa dan berperilaku,
f)
Saling menghormati, menghargai (mutual respect) diantara orangtua dan
anak,
g)
Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam
memecahkan masalah atau kesulitan,
h)
Menjalin kebersamaan (kerja sama) antara orangtua
dan anak,
i)
Orangtua memiliki emosi stabil,
j)
Berkecukupan dalam bidang ekonomi, dan
k)
Mengamalkan nilai-nilai moral dan agama.[2]
Apabila suatu keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi-fungsi
seperti telah dipaparkan diatas, maka tersebut akan mengalami stagnasi
(kemandegan) atau disfungsi, yang pada gilirannya akan merusak kekokohan
konstelasi keluarga tersebut (khususnya terhadap perkembangan kepribadian
anak).[3] Oleh karena itu sangat diharapkan sebuah peranan keluarga yang
terdiri dari orangtua sebagai pembentuk utama dalam pembentukan karakter anak.
Dr. Kenneth
Chafin dalam bukunya memberi gambaran tentang pengertian keluarga yaitu
keluarga merupakan tempat untuk bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi,
hubungan sosial, kasih dan rohani.[4] Sangat
jelas bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam anak secara keseluruhan adalah
pengaruh dari sebuah keluarga.
Alkitab menyatakan bahwa keluarga
terbentuk apabila seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, maka keduanya menjadi satu daging dan mereka dipersatukan
Allah dan tidak boleh diceraikan oleh manusia
(Mat.19:5-6).[5]
Orangtua mempunyai tanggung jawab yang penting dalam
keluarga. Ayah adalah sebagai kepala keluarga yang mengendalikan “bahtera”
keluarga. Ibu sebagai penolong ayah. Ayah dan ibu melakukan peranan yang sama
pada tujuan yang sama pula. Tidak boleh berbeda dan berlawanan pendapat.
Tanggung jawab pendidikan anak tetap
pada sang ayah, tetapi sang ibu sebagai penolong dalam pendidikan anak. Sebagai
orangtua, harus tahu memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Yaitu seperti
yang telah
diuraikan Kenneth Chafin hal-hal yang diperlukan anak dari ayahnya adalah cinta
dan kasih sayang, serta memerlukan peraturan-peraturan.[6]
Sedangkan menurut Dr. Rubin Adi Abraham bahwa tugas dan tanggung jawab
seorang suami (ayah) sebagai kepala keluarga adalah menggembalakan anggota
keluarganya, mengasihi, melindungi, memberi nafkah dan mengarahkan keluarga
agar takut akan Tuhan. Apa bila suami tidak dapat melakukan perannya sebagai
kepala keluarga dengan baik, keluarganya akan berantakan.[7]
Meskipun tanggung jawab pendidikan yang
terutama adalah ayah, peranan ibu tidak bisa diabaikan. Ibu menjadi “tangan”
ayah dalam membimbing anak . Oleh karena itu , ibu dan ayah merupakan dua
pribadi yang tidak bisa dipisahkan dalam mendidik anak-anaknya.[8]
Oleh karena itu, tanggung jawab orangtua menurut Kitab Ulangan
6: 4 – 19 adalah sebagai berikut:
A.
Tanggung Jawab Orangtua sebagai Pengajar
Tanggung
jawab orangtua yang kedua adalah sebagai pengajar. Hal-hal yang diajarkan
adalah mengenai nilai-nilai kehidupan untuk bekal dan modal bagi kehidupan
dalam bermasyarakat. Dan waktu dan tempat pengajarannya tidak terbatas. Ulangan
6 menyatakan bahwa orangtua mengajarkan taurat berulang-ulang kepada anak-anakmu
dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang
dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Sebagi orangtua, harus menunjukkan bagaimana tanggung jawab rohani yaitu
menerima Yesus sebagi Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka. Orangtua harus
tetap memberikan motivasi untuk tetap belajar Alkitab secara mandiri,
mengembangkan prinsip hidup yang Alkitabiah dan kebiasaan-kebiasaan saleh.
Sebagai pengajar, orangtua harus tanggap terhadap perkembangan usia anak
masa-masa sekolah, oleh karena itu langkah-langkah yang harus diambil adalah:
a) Lihatlah mereka secara utuh supaya mereka mempunyai
pengaruh terhadap penampilannya dalam kehidupan sosial. Konsep mental akan
mempengaruhi emosinya. Karakter dibutuhkan untu hidup disiplin dalam Roh Kudus
sehingga mereka bertumbuh secara rohani.
b) Pakailah semua sifat yang khas. Bekerja dengan mereka
harus memakai prinsip penuntun untuk melihat akhir dari setiap karaktert.
c) Jadikan diri kita sendiri bagi semua orang. Mereka hendak
berorientasi bagi semua orang sebagin bukti yang jelas dapat dilihat dari perbedaan
gaya hidup, bakat, kecakapan dalam bekerja dan variasi yang berkaitan dengan
efektifitas.[9]
Oleh karena itu, meraih dalam pemahaman Injil orangtua harus memberi dengan
cara menjadi teladan mengajar dan melayani dengan meneladani Yesus. Pesan
Alkitabiah yang diberikan kepada anak adalah persekutuan yang bermakna, prinsip
keberhasilan, janji Allah dan teladan kehidupan yang saleh.[10]
Menurut D. Charles Williams, Ph.D dalam bukunya ada empat (4) yang dapat
diajarkan oleh seorang ayah kepada anaknya, yaitu:[11]
a. Mengasihi Allah dan menjadi serupa dengan Kristus.
b. Menumbuhkan kejantanan yaitu bagaimana menjadi pria
sesungguhnya.
c. Mengembangkan kemampuan kepemimpinan yang bertanggung
jawab.
d. Mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dan
perasaan-perasaan.
Maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab orangtua sebagai pengajar
firman secara spesifik adalah sebagai berikut:
1.
Mengajarkan Taurat Berulang-ulang
Sebelum mengajarkan Kebenaran atau
firman kepada anak anak mereka, berarti orangtua harus mempunyai bekal sebagai
dasar untuk mengajarkan firman kepada anaknya. Untuk mendapatkan atau
mengetahui Kebenaran, orangtua harus mencarinya dalam Tuhan. Karena menurut
Amsal bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan didikan dan segala harta hikmat dan pengetahuan adalah tersembunyi
didalam Dia (Kol. 2: 3). Yesus berkata bahwa “Dialah jalan kebenaran dan hidup
(Yoh. 14: 6) dimana Yesuslah kebenaran mutlak jalan keselamatan yang harus
diketahui oleh orangtua.[12]
Didalam buku
Suluh Siswa SMA kelas X yang ditulis oleh Yuprieli secara ringkas, kitab
Ulangan 6:4-9 mencatat perintah Allah pada tiap orangtua untuk mendidik
anak-anaknya mengenal Tuhan, yaitu dengan cara:
a) Sebelum mengajarkan, orangtua harus terlebih dahulu
mengasihi Tuhan,”dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan denga segenap
kekuatanmu”
b) Setelah itu, barulah orangtua mengajakannya
berulang-ulang,
c) Membicarakannya ketika duduk, sedang dalam perjalanan,
berbaring dan bangun,
d) Mengikat sebagai tanda pada tangan dan lambang pada dahi,
e) Menuliskan pada tiang pintu rumah dan pintu gerbang.[13]
Yang menjadi pokok pengajaran ini adalah
mengajarkan Taurat kepada anak-anaknya. Ketetapan dan peraturan Tuhan harus
diketahui oleh anak-anaknya. Yaitu dengan cara mengajarkan Taurat itu secara
berulang-ulang hingga anak memahami dan sekaligus sebagai pelaku Taurat.
2.
Mengikatkan Taurat Sebagai Tanda
Dalam hal tanggung jawab orangtua dalam mengikatkan
tanda, sebagai alat bantu bagi
anak untuk mengingat. Selain itu, untuk menyatakan bahwa taurat adalah sesuatu
hal yang sangat penting sehingga jangan sampai suatu saat terlupakan. Oleh karena itu,
taurat disini adalah menjadi pedoman yang mengendalikan segala kegiatan dan
seluruh aktifitas kehidupan. Orangtua tidak boleh lupa akan hal ini, selain
karena ingin menyelamatkan anak ini juga adalah suatu perintah dan ketetapan
Tuhan yang harus diajarkan orangtua kepada anak-anak sebagai suatu tanggung
jawab yang harus diperjuangkan.
3.
Menuliskan Taurat
Sebagai bangsa-bangsa lain memakai tanda
bahkan berupa irisan dan tato untuk mengingatkan mereka dari dewa yang
mereka sembah. Demikian juga dengan menuliskan taurat adalah untuk mengingat
kembali akan penebusan Tuhan dan penyelamatan yang dilakukan oleh tuhan dari
perbudakan Mesir.[14]
Sebagai orangtua, juga harus melakukan tanggung jawab yang sama dengan orangtua
jaman Musa. Bagaimana anak mengetahui Taurat itu yaitu adalah orangtua
mengajarkan dengan cara menuliskan Taurat itu sehingga lebih gampang dicerna
oleh anak. Karena ini juga adalah perintah Tuhan bagi orangtua masa kini dan
masa yang akan datang.
B.
Tanggung Jawab Orangtua sebagai Pencerita
Keluarga adalah pencerita yang alamiah.[15]
Tidak ada yang lebih disenangi anak-anak daripada duduk dipangkuan orangtuanya
yang sudah siap untuk bercerita. Bagi orang Kristen, cerita besar yang melebihi
cerita-cerita lainnya adalah kabar kesukaan. Alkitab bercerita melibatkan nenek
moyang langsung karena gejolak-gejolak dosa manusia dan kesetian Ilahi terhadap manusia. Jika ditelusuri, Alkitab
menceritakan kisah-kisah besar yang dimulai dari penciptaan, janji-janji Allah
akan Israel tentang Yesus ke dunia, hingga kedatangan Yesus yang kedua kali.
Identitas bangsa Israel terdapat dalam sejarah yang disampaikan secara lisan dari
generasi ke generasi dan diperingati dalam perayaan-perayaan masyarakat dan
peribadahan keluarga. Oleh karena itu, orangtua harus sebagai pencerita, antara
lain:
1.
Menceritakan Cerita-cerita Pribadi
Sama seperti masyarakat memiliki
sejarah-sejarah tertentu, dalam lingkup yang lebih kecil, para keluarga juga
bisa menemukan cerita-cerita Alkitab tertentu yang menyapa situasi mereka yang
mencerminkan perjuangan mereka dan yang memberi harapan kepada mereka. Pengalaman
pribadi yang diharapkan adalah pengalaman yang bejalan dengan Tuhan,
keajaiban-keajaiban bersama dengan Tuhan. Oleh karena itu, dinamika-dinamika
ini merupakan inti pengalaman pribadi Kristen, kita bisa mengharapkannya
terjadi dalam keluarga orang percaya, juga dalam hubungan diantara
anggota-anggota keluarga.
2.
Menceritakan
Cerita-cerita Leluhur
Menceritakan cerita-cerita leluhur
adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian yang dialami oleh
para leluhur dan nenek moyang mereka. Generasi-generasi sebelumnya biasanya
sudah menyaksikan kehidupan mereka bersama dengan Tuhan. Selama bertahun-tahun
generasi para leluhur mereka sudah mengalami peristiwa, pergumulan hidup yang
dapat membuka dan memperluas pikiran generasi selanjutnya. Inilah yang menjadi
bahan cerita yang akan disampaikan orangtua kepada anak-anak mereka. Dengan
cara ini, orangtua sedang membentuk karakter anak-anak mereka lewat perenungan
pribadi anak setelah mendengar cerita para leluhur mereka.
3.
Menceritakan Cerita-cerita Alkitab
Setelah menceritakan cerita atau
pengalaman pribadi dan cerita para leluhur mereka, maka yang lebih utama dari
pada itu adalah menceritakan cerita-cerita Alkitab. Cerita Alkitab adalah bahan
utama cerita orangtua terhadap anak-anak.
Dalam Perjanjian Lama,yang harus diceritakan adalah bagaimana keajaiban
Tuhan dalam penciptaan, pemeliharaan, dan berbagai pertolongan Tuhan seperti
yang diceritakan dalam Alkitab hingga taurat sebagai ikatan untuk mengasihi
Tuhan dan sesama manusia sebagai hukum yang terutama. Dengan cerita demikian,
cerita ini akan membantu dalam mengubah pola pikir dan sikapnya.
Tanggung Jawab Orangtua sebagai Teladan
Keteladanan adalah proses mendidik anak
yang sangat sederhana, namun begitu efektif karena mudah dimengerti. Orangtua
harus tahu bahwa anak adalah peniru ulung. Ratu Elizabeth II berkata, “ Aku belajar seperti proses belajarnya kera,
yaitu dengan menyaksikan orangtua dan meniru mereka”.[16] Dari orangtua kita belajar tentang
kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh, perilaku, norma, keyakinan agama,
prinsip, dan nilai-nilai luhur. Semua ini kita terima dari orangtua, orang yang paling penting dalam pembentukan
karakter
anak. Proses ini kemudian mengakar dalam diri lalu menjadi referensi utama
dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain. Semua pengalaman yang diterima anak
dari orangtua ini memberikan pengaruh yang besar sekali bagi anak.
Keteladanan
memang menjadi faktor penting dalam pendidikan. Namun, keteladanan bukanlah
satu-satunya hal yang harus ada dalam pendidikan. Ada faktor-faktor lain yang
tidak boleh hilang selain keteladanan, yaitu antara lain nasehat dan
pengajaran. Dengan nasehat dan pengajaran yang berkesan, akan terbuka jalan
masuk ke dalam jiwa dan hati nurani sebagai pusat pembentukan kepribadian.
Kedudukan dan fungsi suatu keluarga
dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental. Perkembangan anak pada
umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila
kesemuanya berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut
dalam keadaan sehat jiwanya. Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, serta
prinsip hidup yang diinternalisasikan melalui persinggungan dan interaksi
sosial anak yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah menancap
kuat di alam kesadaran anak yang kelak akan menjadi ‘sistem kontrol internal’
bagi perilaku mereka. Dalam konteks ini, orangtua adalah pemegang kendali utama
tanggung jawab atas proses pembentukan karakter anak. Kita tidak dapat menutup
mata misalnya, bahwa saat ini terjadi pergeseran nilai kesusilaan pada
masyarakat mengenai terminologi ‘patut’ dan ‘tidak patut’. Di level itu, peran orangtua
menjadi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anak sebagai bekal
utama sebelum mereka terjun ke masyarakat melalui sekolahan dan media interaksi
sosial lainnya.
Karena itu, teladan sikap orangtua
sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak mereka. Hal ini penting karena
pada fase perkembangan manusia, usia anak adalah tahapan untuk mencontoh sikap
dan perilaku orang di sekitar mereka. Dengan sikap dan teladan yang baik
ditambah dengan penguatan ‘emotional bonding’ antara anak dengan orangtua,
upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan karakter yang baik pada anak akan lebih
mudah untuk dilakukan.
j. Verkuyl lebih lanjut mengemukakan
sebagai berikut:
Jika orangtua
berjudi, janganlah diharapkan anak-anak takkan melakukannya. Jika orangtua
mabuk, janganlah diharapkan anak-anak akan memantangkan minuman keras. Jika orangtua
koruptor dan pemeras, janganlah diharapkan anak-anak dapat dimintai
pertanggungjawaban dalam hal keuangan. Jika orangtua tidak pernah berdoa,
membiarkan Alkitabnya tertutup, tidak pernah gereja, janganlah diharapkan
anak-anak dapat berdoa, membaca Alkitab dan pergi kegeraja.[17]
Menurut J. Verkuyl diatas, jadi dapat
dipahami bahwa menjadi contoh atau teladan lebih berpengaruh didalam membentuk
karakter anak jika dibandingkan dengan memberi banyak nasehat dalam bentuk
perkataan.
Orangtua sebagai teladan merupakan
syarat mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Timotius adalah merupakan
anak binaan / mentee dari Paulus. Paulus menyerahkan tugas kepada Timotius
sebagai anak binaannya untuk mengajar Jemaat Efesus, rasul Paulus berkata “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah
karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang percaya dalam perkataanmu, dalam
tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu (1
Tim. 4:12).[18] Paulus
dan Timotius juga mempunyai hubungan ayah anak secara rohani. Paulus menulis,
“kepada Timotius anakku yang sah didalam iman” (1 Tim.1:2).[19]
Orangtua
adalah teladan bagi anak. Oleh karena itu orangtua
harus meneladani Kristus supaya menjadi teladan bagi anak-anaknya.[20] Seorang anak akan meniru
semua hal yang ada di keluarganya yaitu orangtuanya
sendiri. Sikap dan perilaku yang anak pelajari akan
membentuk karakternya. Sedangkan
sekolah hanya memiliki sedikit kesempatan membentuk karakter siswa. Anak yang semula pemalas
di rumah, karena orangtuanya yang tidak pernah mengajari kemandirian, maka saat
dimasukkan sekolah, orangtua tidak bisa berharap penuh anaknya akan mampu
mandiri.
Inilah yang dikatakan fondasi. Fondasi sangat penting untuk membangun
kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu orangtualah yang membangun fondasi itu.
Memang semua mempengaruhi, baik gen, sekolah, masyarakat. Tetapi tidak
seorangpun dapat menggantikan tugas orangtua.[21]
Sebagai orangtua dikatakan efektif dalam
keteladanannya jika ia (orangtua) memiliki dua (2) faktor utama, yaitu: Pertama, kebergantungan kepada kuasa
Roh Kudus, dan Kedua, kesucian hidup
yang menjadi keteladanan dalam perbuatan. Oleh karena itu, orangtua harus
mengetahui kebenaran dan menerapkan itu dalam hidupnya.[22]
Jika seorang ayah ingin mengerti putranya lebih baik, hendaknya ia
mempertanyakan dirinya sendiri: “Hal apa dari diri saya yang ditiru oleh anak
saya?” Yohanes menulis kepada temannya, Gayus, “bagiku tidak ada sukacita yang
lebih besar dari pada mendengar bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran” (3
Yoh.4). ini akan terjadi jika ia mengikuti jejak ayahnya seperti ayahnya
mengikuti Yesus Kristus. Semua putra membutuhkan ayah yang dapat mengubah
kelemahan mereka menjadi kekuatan.[23]
1.
Menguasai Diri Dalam Segala Hal
Dalam hal ini, orangtua sangat dituntut menjadi teladan dalam hal menguasai
diri. Menguasai dalam segala aspek kehidupan, termasuk hal yang dianggap sepele
seperti makan, bahkan bertindak, mengambil keputusan, berpikir dan segala aspek
yang dapat terlihat oleh anak.
2.
Takut Akan Tuhan
Dalam hal ini didalam keluarga khususnya orangtua
(ayah dan ibu), yang disoroti adalah bagaimana
sikat orangtua terhadap Tuhan.
Apakah menunjukkan suatu sikap takut akan Tuhan atau tidak. Hal ini sangat
berpengaruh bagi anak dalam pembentukan karakter. Takut akan Tuhan adalah suatu sikap rasa hormat yang
digambarkan dari ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan. Sebagaimana yang ditulis
dalam Kitab Ulangan itu, yaitu orangtua harus bersumpah demi nama Tuhan, tidak
mengikuti alah lain serta jangan mencobai Tuhan Allah, ini menunjukkan suatu
ketaatan kepada Tuhan.[24]
Dengan demikian, anak akan melihat orangtua sebagai teladan dan mengikut apa
yang dilakukan orangtua. Dengan menunjukkan ketaatan kepada Tuhan, maka anak
secara otomatis tanpa disuruh akan melakukan hal yang sama.
3.
Menunaikan Ibadah
Sebagai teladan dalam hal beribadah,
adalah seseatu yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Orangtua
yang dapat diteladani dalam hal ibadah, maka sangat berpengaruh bagi anak.
Pembentukan Karakter Siswa
Pembentukan adalah suatu proses menjadikan, membentuk atau menjadikan
sesuatu kearah yang lebih baik. Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.[25]
Sedangkan siswa adalah anak didik, murid atau peserta didik. Oleh karena
itu karakter siswa adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak anak didik, murid atau
peserta didik.
Pembentukan karakter adalah bukanlah sekedar suatu pilihan, yang boleh
dipilih dan boleh tidak dipilih, tetapi suatu kenyataan hidup yang utama.[26]
Pertumbuhannya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun adalah hasil dari
interaksi keseluruhan dirinya dengan orang orang lain dan lingkungan fisik
dalam suatu pola yang utuh.[27]
Menurut Gloria Copeland didalam buku Greg Zoschak bahwa membangun karakter
adalah dengan mengembangkan buah Roh Kudus (Gal. 5: 22) di dalam diri manusia.[28]
Buah-buah Roh ini akan membentuk sifat yang baru yang berasal dari kodrat Bapa
Sorgawi.
Oleh karena itu pembentukan karakter siswa adalah suatu proses menjadikan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, tabiat atau watak siswa atau
anak didik untuk lebih baik dan berkarakter mulia yang sebagai landasannya
adalah Alkitab.
Berikut ini adalan nilai serta
deskripsi nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dicanangkan oleh
Kementrian Pendidikan Nasional.[29]
Tabel 2.1. Nilai-nilai Karakter
|
No.
|
Nilai
|
Deskripsi
|
|
1
|
Religius
|
Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadaah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
|
|
2
|
Jujur
|
Perilaku
yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
|
3
|
Toleransi
|
Sikap
dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang bebeda darinya.
|
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
|
|
5
|
Kerja
Keras
|
Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
|
6
|
Kreatif
|
Berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
|
|
7
|
Mandiri
|
Sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
|
|
8
|
Demokratis
|
Cara
berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
|
|
9
|
Rasa
Ingin Tahu
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
|
10
|
Semangat
Kebangsaan
|
Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
|
|
11
|
Cinta
Tanah Air
|
Cara
berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsa.
|
|
12
|
Menghargai
Prestasi
|
Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
|
13
|
Bersahabat/Komunikatif
|
Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
|
|
14
|
Cinta
Damai
|
Sikap,
perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman
atas kehadiran dirinya.
|
|
15
|
Gemar
Membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
|
|
16
|
Peduli
Lingkungan
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
|
|
17
|
Peduli
Sosial
|
Sikap
dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan.
|
|
18
|
Tanggung
Jawab
|
Sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa
|
Jadi, proses pembentukan
karakter itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara pikiran, perasaan dan
tindakan. Dari wilayah akal terbentuk cara berpikir dan dari wilayah fisik
terbentuk cara berperilaku. Cara berpikir
menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berperilaku menjadi karakter.
Apabila hal ini terjadi pengulangan yang terus-menerus menjadi kebiasaan, maka
sesuai dengan pendapat Imam al-Ghozali yang mengatakan bahwa akhlak atau
karakter adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui
proses pemikiran.
Kita tentu menyakini bahwa kenyataan
yang tidak bisa kita pungkiri dalam hidup ini adalah perubahan. Waktu dan zaman
terus berganti bahkan semua yang ada didunia ini tengah berubah dan akan terus
berkembang atau sebaliknya menurun atau merosot.
Menurut Campbell Johnson yang dikutip
oleh B. S. Sidjabat didalam bukunya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan pengembangan karakter adalah 1). Faktor pribadi, 2). Lingkungan
sosial, 3). Krisis Kehidupan, 4). Waktu, 5). Intervensi Iblis, 6). Kedagingan
atau tabiat manusia berdosa, 7). Intervensi Allah Tritunggal.[30]
Semuanya secara umum akan mempengaruhi karakter seseorang. Sangat diharapkan
pengaruh orangtua dalam pembentukan karakter ini jauh lebih terkontrol untuk
menghasilakan karakter anak yang diharapkan.
Pembinaan anak sejak dini sangat penting
yaitu pembinaan karakter anak secara sehat.[31]
Pengaruh sosialisasi yang kurang baik pada masa lalu ditambah lagi dengan sifat
kedagingan yang berurat berakar membuat pembentukan dan pembaharuan karakter
tidak selalu mulus. Cara orangtua pada masa lalu dalam memberi perhatian,
penghargaan, pengajaran, menegakkan disiplin dengan cara memuji atau
menghukum, telah menjadi kesan yang
mendalam yang mendalam bagi perasaan, pemikiran, sikap dan tingkah laku bagi
anak. Oleh karena itu orangtua harus membuat pendekatan dan strategi yaitu
dengan mendengarkan nasehat-nasehat yang berpengalaman dan tetap mengandalkan
kuasa dan hikmat Allah.
Pada pembentukan karakter ini, orangtua sangat mengharapkan anaknya
bertindak sebagai berikut ini.
1.
Siswa Memahami dan Pelaku Taurat
Setelah orangtua melakukan tanggung
jawabnya sebagai pengajar kepada anak-anaknya, maka karakter yang diharapkan adalah anak menjadi faham
dan sebagai pelaku taurat. Anak menghormati orangtua, taat dan mengasihi orangtua
dengan tanpa syarat. Rick Warren mengatakan bahwa:
Firman Allah menghasilakan kehidupan, menimbulkan iman
mendatangkan perubahan, membuat iblis takut, menyebabkan mujikzat, menyembuhkan
sakit hati, membangun karakter, mengubah keadaan, memberikan sukacita,
mengatasi kesusahan, mengalahkan pencobaan, memberika pengharapan, melepaskan
kuasa, menyucikan pikiran kita, menciptakan berbagai hal, dan menjamin masa
depan kita selamanya.[32]
Sangat diharapkan juga supaya anak tidak meremehkan didikan tetapi harus menganggapnya sepenting makanan bagi
kehidupan kita dan hidup sebagai pelaku firman. Ayub berkata, “Aku menghargai firman dari mulut-Nya lebih
dari pada makananku setiap hari.”
Anak harus menerima otoritas firman Allah. Alkitab harus menjadi standard
yang berotoritas bagi kehidupan anak, kompas andalan sebagi penunjuk arah,
nasehat yang didengarkan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak dan
patokan digunakan untuk menilai segala sesuatu.
Tetapi tidak cukup hanya percaya Alkitab; juga harus mengisi pikiran
dengannya sehingga Roh Kudus bisa mengubah dengan kebenaran itu. Artinya hidup
menjadi pelaku firman. Untuk tinggal didalam firman Allah, Rick Warren menulis
lima (5) cara untuk melakukannya, yaitu menerima kebenaran, membaca Alkitab,
meneliti Alkitab, menghafal ayat Alkitab dan merenungkannya.[33]
Pasal 6: 5 menyatakan bahwa Kasihilah
TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu. Inilah yang sangat diharapkan oleh orangtua bahwa anak
melakukan dan menghidupi firman, mengasihi Tuhan dengan sepenuhnya.
2.
Siswa Memahami Sejarah
Sebagai orang yang sudah mengenal Tuhan,
siswa harus mengetahui jalan-jalan sejarah yang terjadi di masa lampau. Untuk
mengetahui dan memahami hal tersebut, siswa tentu saja bisa mendapatkannya
lewat membaca buku, dengar cerita Alkitab di ibadah-ibadah Sekolah Minggu, Guru
di sekolah dan lain-lain. Tetapi sebelum mereka mendapatkan hal itu, orangtua
harus lebih dahulu menyampaikannya guna supaya siswa memahami apa yang telah
Tuhan kerjakan pada masa lampau, masa kini hingga kedatangan Tuhan yang kedua
kali.
Sadar atau tidak sadar, hal ini membantu
anak untuk merubah pola pikinya dan sebagai perenungan bagi dirinya. Sehingga
siswa bisa mengambil suatu pilihan dalam melakukan tindakan terhadap sesuatu.
3.
Siswa Teladan
Menjadi siswa teladan adalah sesuatu hal yang sangat sulit dan butuh kerja
keras orangtua. Sangat penting bahwa para anak mengikuti jejak langkah orangtua
mereka yang dimulai sejak dini.[34]
Seperti Timotius oleh
karena pengaruh Paulus telah membuktikan kemampuan dirinya dan telah membiarkan
kuasa Allah mengubah sifat dasarnya. Paulus menjadi pola atau teladan bagi
Timotius. Siswa teladan yang diharapkan dari siswa adalah memiliki sikap hidup
tabah dan ulet (tidak takut gagal), giat, jujur, kasih atau kebaikan, sukacita
atau bersyukur, sabar, murah hati, rendah hati atau tidak sombong, rajin,
tertib, taat peraturan, rapi dan hidup tulus.[35]
Kesimpulan
Dalam pembentukan karakter anak selain guru disekolah, gereja, orangtua mempunyai tanggung jawab yang sangat
besar dan penting. Orangtua perlu memberikan waktu dan perhatian yang ekstra
dalam pembentukan karakter anak tersebut. Orangtua adalah pemegang peran
penting dan punya rentang waktu yang sangat lama. Pembentukan karakter yang
dimaksud adalah karakter yang menjurus kepada karakter yang sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu karakter yang telah dipaparkan diatas
disesuaikan dengan indikator-indikator yang diambil berdasarkan Kitab Ulangan
6:4-19. Sehingga karakter yang diharapkan dari anak adalah
karakter yang sesuai dengan Alkitab.
Orangtua yang melakukan tanggung jawab dengan benar dari usia dini dari
seorang anak maka akan mempengaruhi
karakter siswa untuk selamanya. Karakter siswa yang duduk di bangku sekolah
yang pada saat ini, adalah suatu hasil olahan orangtua dari usia dini hingga dewasa.
Ketika orang tua salah mendidik/memberikan pengajaran diawal didalam keluarga, maka
akan bersifat fatal bagi masa depan anak, bagi orangtua atau keluarga dan bahkan
bagi masyarakat.
[1]Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Putra Harsa: 2001),565
[2]Syamsu Yusuf, LN.
M.Pd, Mental Hygiene...,155
[3]Ibid,
[5]Ibid, 140
[6]Ibid, 146
[7]Rubin Adi
Abraham, Saya Murid Kristus-Modul
Berakar, (Bandung: Blessing Media: 2009), 87
[8]Ibid, 149
[9]Ibid, 100-101
[10]Ibid,101
[12]Paulus Lilik
Kristianto, M.Si.,Th.M, Prinsip dan
Praktek..., 21
[13]Yuprieli Hulu,
S.PAK, M.Th., Janse Belandina Non, M.Si., Julia Suleeman, M.A.,M.A, Suluh Siswa Bertumbuh dalam Kristus,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 111
[14]Moody Press, Tafsiran Alkitab Wycliffe, Terj, (Malang:
Gandum Mas: 2004), 186-187
[17]J. Verkuyl, Etika Kristen Seri Seksual, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia: 1982), 17
[18]Paulus Lilik
Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan
Praktek..., 21
[20]Paulus Lilik
Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan
Praktek...,21
[21]Steve Chalke, How to Succeed as a Parent, (Yogyakarta:
Andi Offset: 2009), 120-
121
[22]Paulus Lilik
Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan
Praktek...,20
[23]Kent R. Brand –
D. Charles Williams. Delapan Masalah..., 41
[24]Moody Press, Tafsiran Alkitab Wycliffe, Terj..., 453
[25]Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia..., 237
[26]Marjorie L.
Thompson, Keluarga sebagai Pusat
Pembentukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 10
[27]Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta:BPK
Gunung Mulia: 2006), 120
[28]Greg Zoschak, Membangun Karakter Terj, (Jakarta:
Immanuel: 2003), 7
[29]Pusat Kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional, 2010
[30]B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul, (Yogyakarta:
Andi: 2015), 31
[31]Ibid, 55
[32]Rick Warren. The Purpose Driven Life. (Malang,Jawa
Timur: Gandim Mas: 2009), 206
[33]Ibid, 207
[34]Kent R. Brand –
D. Charles Williams. Delapan Masalah..., 41
[35]Jarot Wijanarko, Anak Berkarakter
(Mendidik Anak, (Jakarta: Suara
Pemulihan: 2006), 50