Jumat, 10 April 2015

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pembentukan Karakter Anak



Oleh:
 Ebenezer Parulian Dabukke, S. Pd. K dan DanielSihotang

Tanggung Jawab Orangtua
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.[1] Musa memaparkan kepada orang Israel tentang intisari perintah-perintah Allah, dimana perintah-perintah Allah itu harus diajarkan kepada anak-anak mereka menghormati dan menaati  Allah. Oleh karena itu tanggung jawab dapat disimpulkan sebagai suatu keharusan yang harus dilaksanakan/dikerjakan dengan maksimal oleh seseorang atau kelompok terhadap sesuatu/atau seseorang atau kelompok.
Orangtua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Alexander A. Schneiders  mengemukakan bahwa keluarga yang ideal (fungsional-normal) ditandai oleh ciri-ciri:
a)        Minimnya perselisihan antar orangtua atau orangtua-anak.
b)        Ada kesempatan untuk meyatakan keinginan,
c)         Penuh kasih sayang,
d)        Penerapan disiplin yang tidak keras,
e)        Ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berpikir, merasa dan berperilaku,
f)          Saling menghormati, menghargai (mutual respect) diantara orangtua dan anak,
g)        Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah atau kesulitan,
h)        Menjalin kebersamaan (kerja sama) antara orangtua dan anak,
i)          Orangtua memiliki emosi stabil,
j)          Berkecukupan dalam bidang ekonomi, dan
k)         Mengamalkan nilai-nilai moral dan agama.[2]
       Apabila suatu keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi-fungsi seperti telah dipaparkan diatas, maka tersebut akan mengalami stagnasi (kemandegan) atau disfungsi, yang pada gilirannya akan merusak kekokohan konstelasi keluarga tersebut (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak).[3] Oleh karena itu sangat diharapkan sebuah peranan keluarga yang terdiri dari orangtua sebagai pembentuk utama dalam pembentukan karakter anak.
Dr. Kenneth Chafin dalam bukunya memberi gambaran tentang pengertian keluarga yaitu keluarga merupakan tempat untuk bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi, hubungan sosial, kasih dan rohani.[4] Sangat jelas bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam anak secara keseluruhan adalah pengaruh dari sebuah keluarga.
       Alkitab menyatakan bahwa keluarga terbentuk apabila seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, maka keduanya menjadi satu daging dan mereka dipersatukan Allah dan tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat.19:5-6).[5] Orangtua mempunyai tanggung jawab yang penting dalam keluarga. Ayah adalah sebagai kepala keluarga yang mengendalikan “bahtera” keluarga. Ibu sebagai penolong ayah. Ayah dan ibu melakukan peranan yang sama pada tujuan yang sama pula. Tidak boleh berbeda dan berlawanan pendapat.
       Tanggung jawab pendidikan anak tetap pada sang ayah, tetapi sang ibu sebagai penolong dalam pendidikan anak. Sebagai orangtua, harus tahu memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Yaitu seperti yang telah diuraikan Kenneth Chafin hal-hal yang diperlukan anak dari ayahnya adalah cinta dan kasih sayang, serta memerlukan peraturan-peraturan.[6]
Sedangkan menurut Dr. Rubin Adi Abraham bahwa tugas dan tanggung jawab seorang suami (ayah) sebagai kepala keluarga adalah menggembalakan anggota keluarganya, mengasihi, melindungi, memberi nafkah dan mengarahkan keluarga agar takut akan Tuhan. Apa bila suami tidak dapat melakukan perannya sebagai kepala keluarga dengan baik, keluarganya akan berantakan.[7]
       Meskipun tanggung jawab pendidikan yang terutama adalah ayah, peranan ibu tidak bisa diabaikan. Ibu menjadi “tangan” ayah dalam membimbing anak . Oleh karena itu , ibu dan ayah merupakan dua pribadi yang tidak bisa dipisahkan dalam mendidik anak-anaknya.[8]
Oleh karena itu, tanggung jawab orangtua menurut Kitab Ulangan 6: 4 – 19  adalah sebagai berikut:

A.     Tanggung Jawab Orangtua sebagai Pengajar
       Tanggung jawab orangtua yang kedua adalah sebagai pengajar. Hal-hal yang diajarkan adalah mengenai nilai-nilai kehidupan untuk bekal dan modal bagi kehidupan dalam bermasyarakat. Dan waktu dan tempat pengajarannya tidak terbatas. Ulangan 6 menyatakan bahwa orangtua mengajarkan taurat berulang-ulang kepada anak-anakmu  dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Sebagi orangtua, harus menunjukkan bagaimana tanggung jawab rohani yaitu menerima Yesus sebagi Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka. Orangtua harus tetap memberikan motivasi untuk tetap belajar Alkitab secara mandiri, mengembangkan prinsip hidup yang Alkitabiah dan kebiasaan-kebiasaan saleh.
Sebagai pengajar, orangtua harus tanggap terhadap perkembangan usia anak masa-masa sekolah, oleh karena itu langkah-langkah yang harus diambil adalah:
a)    Lihatlah mereka secara utuh supaya mereka mempunyai pengaruh terhadap penampilannya dalam kehidupan sosial. Konsep mental akan mempengaruhi emosinya. Karakter dibutuhkan untu hidup disiplin dalam Roh Kudus sehingga mereka bertumbuh secara rohani.
b)    Pakailah semua sifat yang khas. Bekerja dengan mereka harus memakai prinsip penuntun untuk melihat akhir dari setiap karaktert.
c)    Jadikan diri kita sendiri bagi semua orang. Mereka hendak berorientasi bagi semua orang sebagin bukti yang jelas dapat dilihat dari perbedaan gaya hidup, bakat, kecakapan dalam bekerja dan variasi yang berkaitan dengan efektifitas.[9]
Oleh karena itu, meraih dalam pemahaman Injil orangtua harus memberi dengan cara menjadi teladan mengajar dan melayani dengan meneladani Yesus. Pesan Alkitabiah yang diberikan kepada anak adalah persekutuan yang bermakna, prinsip keberhasilan, janji Allah dan teladan kehidupan yang saleh.[10]
Menurut D. Charles Williams, Ph.D dalam bukunya ada empat (4) yang dapat diajarkan oleh seorang ayah kepada anaknya, yaitu:[11]
a.     Mengasihi Allah dan menjadi serupa dengan Kristus.
b.     Menumbuhkan kejantanan yaitu bagaimana menjadi pria sesungguhnya.
c.      Mengembangkan kemampuan kepemimpinan yang bertanggung jawab.
d.     Mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan.
Maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab orangtua sebagai pengajar firman secara spesifik adalah sebagai berikut:

1.         Mengajarkan Taurat Berulang-ulang
       Sebelum mengajarkan Kebenaran atau firman kepada anak anak mereka, berarti orangtua harus mempunyai bekal sebagai dasar untuk mengajarkan firman kepada anaknya. Untuk mendapatkan atau mengetahui Kebenaran, orangtua harus mencarinya dalam Tuhan. Karena menurut Amsal bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan didikan dan segala harta hikmat dan pengetahuan adalah tersembunyi didalam Dia (Kol. 2: 3). Yesus berkata bahwa “Dialah jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14: 6) dimana Yesuslah kebenaran mutlak jalan keselamatan yang harus diketahui oleh orangtua.[12]
Didalam buku Suluh Siswa SMA kelas X yang ditulis oleh Yuprieli secara ringkas, kitab Ulangan 6:4-9 mencatat perintah Allah pada tiap orangtua untuk mendidik anak-anaknya mengenal Tuhan, yaitu dengan cara:
a)    Sebelum mengajarkan, orangtua harus terlebih dahulu mengasihi Tuhan,”dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan denga segenap kekuatanmu”
b)    Setelah itu, barulah orangtua mengajakannya berulang-ulang,
c)    Membicarakannya ketika duduk, sedang dalam perjalanan, berbaring dan bangun,
d)    Mengikat sebagai tanda pada tangan dan lambang pada dahi,
e)    Menuliskan pada tiang pintu rumah dan pintu gerbang.[13]
       Yang menjadi pokok pengajaran ini adalah mengajarkan Taurat kepada anak-anaknya. Ketetapan dan peraturan Tuhan harus diketahui oleh anak-anaknya. Yaitu dengan cara mengajarkan Taurat itu secara berulang-ulang hingga anak memahami dan sekaligus sebagai pelaku Taurat.

2.     Mengikatkan Taurat Sebagai Tanda
Dalam hal tanggung jawab orangtua dalam mengikatkan tanda, sebagai alat bantu bagi anak untuk mengingat. Selain itu, untuk menyatakan bahwa taurat adalah sesuatu hal yang sangat penting sehingga jangan sampai suatu saat terlupakan.  Oleh karena itu, taurat disini adalah menjadi pedoman yang mengendalikan segala kegiatan dan seluruh aktifitas kehidupan. Orangtua tidak boleh lupa akan hal ini, selain karena ingin menyelamatkan anak ini juga adalah suatu perintah dan ketetapan Tuhan yang harus diajarkan orangtua kepada anak-anak sebagai suatu tanggung jawab yang harus diperjuangkan.

3.     Menuliskan Taurat
Sebagai bangsa-bangsa lain memakai tanda  bahkan berupa irisan dan tato untuk mengingatkan mereka dari dewa yang mereka sembah. Demikian juga dengan menuliskan taurat adalah untuk mengingat kembali akan penebusan Tuhan dan penyelamatan yang dilakukan oleh tuhan dari perbudakan Mesir.[14] Sebagai orangtua, juga harus melakukan tanggung jawab yang sama dengan orangtua jaman Musa. Bagaimana anak mengetahui Taurat itu yaitu adalah orangtua mengajarkan dengan cara menuliskan Taurat itu sehingga lebih gampang dicerna oleh anak. Karena ini juga adalah perintah Tuhan bagi orangtua masa kini dan masa yang akan datang.

B.    Tanggung Jawab Orangtua sebagai Pencerita
Keluarga adalah pencerita yang alamiah.[15] Tidak ada yang lebih disenangi anak-anak daripada duduk dipangkuan orangtuanya yang sudah siap untuk bercerita. Bagi orang Kristen, cerita besar yang melebihi cerita-cerita lainnya adalah kabar kesukaan. Alkitab bercerita melibatkan nenek moyang langsung karena gejolak-gejolak dosa manusia dan kesetian Ilahi  terhadap manusia. Jika ditelusuri, Alkitab menceritakan kisah-kisah besar yang dimulai dari penciptaan, janji-janji Allah akan Israel tentang Yesus ke dunia, hingga kedatangan Yesus yang kedua kali. Identitas bangsa Israel terdapat dalam sejarah yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan diperingati dalam perayaan-perayaan masyarakat dan peribadahan keluarga. Oleh karena itu, orangtua harus sebagai pencerita, antara lain:

1.     Menceritakan Cerita-cerita Pribadi
       Sama seperti masyarakat memiliki sejarah-sejarah tertentu, dalam lingkup yang lebih kecil, para keluarga juga bisa menemukan cerita-cerita Alkitab tertentu yang menyapa situasi mereka yang mencerminkan perjuangan mereka dan yang memberi harapan kepada mereka. Pengalaman pribadi yang diharapkan adalah pengalaman yang bejalan dengan Tuhan, keajaiban-keajaiban bersama dengan Tuhan. Oleh karena itu, dinamika-dinamika ini merupakan inti pengalaman pribadi Kristen, kita bisa mengharapkannya terjadi dalam keluarga orang percaya, juga dalam hubungan diantara anggota-anggota keluarga.

2.     Menceritakan Cerita-cerita Leluhur
       Menceritakan cerita-cerita leluhur adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian yang dialami oleh para leluhur dan nenek moyang mereka. Generasi-generasi sebelumnya biasanya sudah menyaksikan kehidupan mereka bersama dengan Tuhan. Selama bertahun-tahun generasi para leluhur mereka sudah mengalami peristiwa, pergumulan hidup yang dapat membuka dan memperluas pikiran generasi selanjutnya. Inilah yang menjadi bahan cerita yang akan disampaikan orangtua kepada anak-anak mereka. Dengan cara ini, orangtua sedang membentuk karakter anak-anak mereka lewat perenungan pribadi anak setelah mendengar cerita para leluhur mereka.

3.     Menceritakan Cerita-cerita Alkitab
       Setelah menceritakan cerita atau pengalaman pribadi dan cerita para leluhur mereka, maka yang lebih utama dari pada itu adalah menceritakan cerita-cerita Alkitab. Cerita Alkitab adalah bahan utama cerita orangtua terhadap anak-anak.  Dalam Perjanjian Lama,yang harus diceritakan adalah bagaimana keajaiban Tuhan dalam penciptaan, pemeliharaan, dan berbagai pertolongan Tuhan seperti yang diceritakan dalam Alkitab hingga taurat sebagai ikatan untuk mengasihi Tuhan dan sesama manusia sebagai hukum yang terutama. Dengan cerita demikian, cerita ini akan membantu dalam mengubah pola pikir dan sikapnya.
 Tanggung Jawab Orangtua sebagai Teladan
       Keteladanan adalah proses mendidik anak yang sangat sederhana, namun begitu efektif karena mudah dimengerti. Orangtua harus tahu bahwa anak adalah peniru ulung. Ratu Elizabeth II berkata, “ Aku belajar seperti proses belajarnya kera, yaitu dengan menyaksikan orangtua dan meniru mereka.[16] Dari orangtua kita belajar tentang kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh, perilaku, norma, keyakinan agama, prinsip, dan nilai-nilai luhur. Semua ini kita terima dari orangtua, orang yang paling penting dalam pembentukan karakter anak. Proses ini kemudian mengakar dalam diri lalu menjadi referensi utama dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain. Semua pengalaman yang diterima anak dari orangtua ini memberikan pengaruh yang besar sekali bagi anak.
Keteladanan memang menjadi faktor penting dalam pendidikan. Namun, keteladanan bukanlah satu-satunya hal yang harus ada dalam pendidikan. Ada faktor-faktor lain yang tidak boleh hilang selain keteladanan, yaitu antara lain nasehat dan pengajaran. Dengan nasehat dan pengajaran yang berkesan, akan terbuka jalan masuk ke dalam jiwa dan hati nurani sebagai pusat pembentukan kepribadian.
Kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental. Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, serta prinsip hidup yang diinternalisasikan melalui persinggungan dan interaksi sosial anak yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah menancap kuat di alam kesadaran anak yang kelak akan menjadi ‘sistem kontrol internal’ bagi perilaku mereka. Dalam konteks ini, orangtua adalah pemegang kendali utama tanggung jawab atas proses pembentukan karakter anak. Kita tidak dapat menutup mata misalnya, bahwa saat ini terjadi pergeseran nilai kesusilaan pada masyarakat mengenai terminologi ‘patut’ dan ‘tidak patut’. Di level itu, peran orangtua menjadi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anak sebagai bekal utama sebelum mereka terjun ke masyarakat melalui sekolahan dan media interaksi sosial lainnya.
Karena itu, teladan sikap orangtua sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak mereka. Hal ini penting karena pada fase perkembangan manusia, usia anak adalah tahapan untuk mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitar mereka. Dengan sikap dan teladan yang baik ditambah dengan penguatan ‘emotional bonding’ antara anak dengan orangtua, upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan karakter yang baik pada anak akan lebih mudah untuk dilakukan.
j. Verkuyl lebih lanjut mengemukakan sebagai berikut:
Jika orangtua berjudi, janganlah diharapkan anak-anak takkan melakukannya. Jika orangtua mabuk, janganlah diharapkan anak-anak akan memantangkan minuman keras. Jika orangtua koruptor dan pemeras, janganlah diharapkan anak-anak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal keuangan. Jika orangtua tidak pernah berdoa, membiarkan Alkitabnya tertutup, tidak pernah gereja, janganlah diharapkan anak-anak dapat berdoa, membaca Alkitab dan pergi kegeraja.[17]
       Menurut J. Verkuyl diatas, jadi dapat dipahami bahwa menjadi contoh atau teladan lebih berpengaruh didalam membentuk karakter anak jika dibandingkan dengan memberi banyak nasehat dalam bentuk perkataan.
       Orangtua sebagai teladan merupakan syarat mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Timotius adalah merupakan anak binaan / mentee dari Paulus. Paulus menyerahkan tugas kepada Timotius sebagai anak binaannya untuk mengajar Jemaat Efesus, rasul Paulus berkata “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang percaya dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu (1 Tim. 4:12).[18] Paulus dan Timotius juga mempunyai hubungan ayah anak secara rohani. Paulus menulis, “kepada Timotius anakku yang sah didalam iman” (1 Tim.1:2).[19]
       Orangtua adalah teladan bagi anak. Oleh karena itu orangtua harus meneladani Kristus supaya menjadi teladan bagi anak-anaknya.[20] Seorang anak akan meniru semua hal yang ada di keluarganya yaitu orangtuanya sendiri. Sikap dan perilaku yang anak pelajari akan membentuk karakternya.  Sedangkan sekolah hanya memiliki sedikit kesempatan membentuk karakter siswa. Anak yang semula pemalas di rumah, karena orangtuanya yang tidak pernah mengajari kemandirian, maka saat dimasukkan sekolah, orangtua tidak bisa berharap penuh anaknya akan mampu mandiri.
Inilah yang dikatakan fondasi. Fondasi sangat penting untuk membangun kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu orangtualah yang membangun fondasi itu. Memang semua mempengaruhi, baik gen, sekolah, masyarakat. Tetapi tidak seorangpun dapat menggantikan tugas orangtua.[21]
       Sebagai orangtua dikatakan efektif dalam keteladanannya jika ia (orangtua) memiliki dua (2) faktor utama, yaitu: Pertama, kebergantungan kepada kuasa Roh Kudus, dan Kedua, kesucian hidup yang menjadi keteladanan dalam perbuatan. Oleh karena itu, orangtua harus mengetahui kebenaran dan menerapkan itu dalam hidupnya.[22]
Jika seorang ayah ingin mengerti putranya lebih baik, hendaknya ia mempertanyakan dirinya sendiri: “Hal apa dari diri saya yang ditiru oleh anak saya?” Yohanes menulis kepada temannya, Gayus, “bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran” (3 Yoh.4). ini akan terjadi jika ia mengikuti jejak ayahnya seperti ayahnya mengikuti Yesus Kristus. Semua putra membutuhkan ayah yang dapat mengubah kelemahan mereka menjadi kekuatan.[23]

1.     Menguasai Diri Dalam Segala Hal
Dalam hal ini, orangtua sangat dituntut menjadi teladan dalam hal menguasai diri. Menguasai dalam segala aspek kehidupan, termasuk hal yang dianggap sepele seperti makan, bahkan bertindak, mengambil keputusan, berpikir dan segala aspek yang dapat terlihat oleh anak.

2.     Takut Akan Tuhan
Dalam hal ini didalam keluarga khususnya orangtua (ayah dan ibu), yang disoroti adalah bagaimana sikat orangtua terhadap Tuhan. Apakah menunjukkan suatu sikap takut akan Tuhan atau tidak. Hal ini sangat berpengaruh bagi anak dalam pembentukan karakter. Takut akan Tuhan adalah suatu sikap rasa hormat yang digambarkan dari ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan. Sebagaimana yang ditulis dalam Kitab Ulangan itu, yaitu orangtua harus bersumpah demi nama Tuhan, tidak mengikuti alah lain serta jangan mencobai Tuhan Allah, ini menunjukkan suatu ketaatan kepada Tuhan.[24] Dengan demikian, anak akan melihat orangtua sebagai teladan dan mengikut apa yang dilakukan orangtua. Dengan menunjukkan ketaatan kepada Tuhan, maka anak secara otomatis tanpa disuruh akan melakukan hal yang sama.



3.         Menunaikan Ibadah
       Sebagai teladan dalam hal beribadah, adalah seseatu yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Orangtua yang dapat diteladani dalam hal ibadah, maka sangat berpengaruh bagi anak.

Pembentukan Karakter Siswa
Pembentukan adalah suatu proses menjadikan, membentuk atau menjadikan sesuatu kearah yang lebih baik. Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.[25]
Sedangkan siswa adalah anak didik, murid atau peserta didik. Oleh karena itu karakter siswa adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak anak didik, murid atau peserta didik.
Pembentukan karakter adalah bukanlah sekedar suatu pilihan, yang boleh dipilih dan boleh tidak dipilih, tetapi suatu kenyataan hidup yang utama.[26] Pertumbuhannya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun adalah hasil dari interaksi keseluruhan dirinya dengan orang orang lain dan lingkungan fisik dalam suatu pola yang utuh.[27]
Menurut Gloria Copeland didalam buku Greg Zoschak bahwa membangun karakter adalah dengan mengembangkan buah Roh Kudus (Gal. 5: 22) di dalam diri manusia.[28] Buah-buah Roh ini akan membentuk sifat yang baru yang berasal dari kodrat Bapa Sorgawi.
Oleh karena itu pembentukan karakter siswa adalah suatu proses menjadikan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, tabiat atau watak siswa atau anak didik untuk lebih baik dan berkarakter mulia yang sebagai landasannya adalah Alkitab.
Berikut ini adalan nilai serta deskripsi nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional.[29]



Tabel 2.1. Nilai-nilai Karakter
No.
Nilai
Deskripsi
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadaah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang bebeda darinya.
4
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8
Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10
Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11
Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13
Bersahabat/Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16
Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa
       Jadi, proses pembentukan karakter itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara pikiran, perasaan dan tindakan. Dari wilayah akal terbentuk cara berpikir dan dari wilayah fisik terbentuk cara berperilaku. Cara berpikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara berperilaku menjadi karakter. Apabila hal ini terjadi pengulangan yang terus-menerus menjadi kebiasaan, maka sesuai dengan pendapat Imam al-Ghozali yang mengatakan bahwa akhlak atau karakter adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui proses pemikiran.
       Kita tentu menyakini bahwa kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri dalam hidup ini adalah perubahan. Waktu dan zaman terus berganti bahkan semua yang ada didunia ini tengah berubah dan akan terus berkembang atau sebaliknya menurun atau merosot.
       Menurut Campbell Johnson yang dikutip oleh B. S. Sidjabat didalam bukunya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengembangan karakter adalah 1). Faktor pribadi, 2). Lingkungan sosial, 3). Krisis Kehidupan, 4). Waktu, 5). Intervensi Iblis, 6). Kedagingan atau tabiat manusia berdosa, 7). Intervensi Allah Tritunggal.[30] Semuanya secara umum akan mempengaruhi karakter seseorang. Sangat diharapkan pengaruh orangtua dalam pembentukan karakter ini jauh lebih terkontrol untuk menghasilakan karakter anak yang diharapkan.
       Pembinaan anak sejak dini sangat penting yaitu pembinaan karakter anak secara sehat.[31] Pengaruh sosialisasi yang kurang baik pada masa lalu ditambah lagi dengan sifat kedagingan yang berurat berakar membuat pembentukan dan pembaharuan karakter tidak selalu mulus. Cara orangtua pada masa lalu dalam memberi perhatian, penghargaan, pengajaran, menegakkan disiplin dengan cara memuji atau menghukum,  telah menjadi kesan yang mendalam yang mendalam bagi perasaan, pemikiran, sikap dan tingkah laku bagi anak. Oleh karena itu orangtua harus membuat pendekatan dan strategi yaitu dengan mendengarkan nasehat-nasehat yang berpengalaman dan tetap mengandalkan kuasa dan hikmat Allah.
Pada pembentukan karakter ini, orangtua sangat mengharapkan anaknya bertindak sebagai berikut ini.

1.         Siswa Memahami dan Pelaku Taurat
       Setelah orangtua melakukan tanggung jawabnya sebagai pengajar kepada anak-anaknya, maka karakter yang diharapkan adalah anak menjadi faham dan sebagai pelaku taurat. Anak menghormati orangtua, taat dan mengasihi orangtua dengan tanpa syarat. Rick Warren mengatakan bahwa:
Firman Allah menghasilakan kehidupan, menimbulkan iman mendatangkan perubahan, membuat iblis takut, menyebabkan mujikzat, menyembuhkan sakit hati, membangun karakter, mengubah keadaan, memberikan sukacita, mengatasi kesusahan, mengalahkan pencobaan, memberika pengharapan, melepaskan kuasa, menyucikan pikiran kita, menciptakan berbagai hal, dan menjamin masa depan kita selamanya.[32]
Sangat diharapkan juga supaya anak tidak meremehkan didikan tetapi harus menganggapnya sepenting makanan bagi kehidupan kita dan hidup sebagai pelaku firman. Ayub berkata, “Aku menghargai firman dari mulut-Nya lebih dari pada makananku setiap hari.”
Anak harus menerima otoritas firman Allah. Alkitab harus menjadi standard yang berotoritas bagi kehidupan anak, kompas andalan sebagi penunjuk arah, nasehat yang didengarkan untuk membuat keputusan-keputusan yang bijak dan patokan digunakan untuk menilai segala sesuatu.
Tetapi tidak cukup hanya percaya Alkitab; juga harus mengisi pikiran dengannya sehingga Roh Kudus bisa mengubah dengan kebenaran itu. Artinya hidup menjadi pelaku firman. Untuk tinggal didalam firman Allah, Rick Warren menulis lima (5) cara untuk melakukannya, yaitu menerima kebenaran, membaca Alkitab, meneliti Alkitab, menghafal ayat Alkitab dan merenungkannya.[33]
       Pasal 6: 5 menyatakan bahwa Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Inilah yang sangat diharapkan oleh orangtua bahwa anak melakukan dan menghidupi firman, mengasihi Tuhan dengan sepenuhnya.

2.     Siswa Memahami Sejarah
       Sebagai orang yang sudah mengenal Tuhan, siswa harus mengetahui jalan-jalan sejarah yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui dan memahami hal tersebut, siswa tentu saja bisa mendapatkannya lewat membaca buku, dengar cerita Alkitab di ibadah-ibadah Sekolah Minggu, Guru di sekolah dan lain-lain. Tetapi sebelum mereka mendapatkan hal itu, orangtua harus lebih dahulu menyampaikannya guna supaya siswa memahami apa yang telah Tuhan kerjakan pada masa lampau, masa kini hingga kedatangan Tuhan yang kedua kali.
       Sadar atau tidak sadar, hal ini membantu anak untuk merubah pola pikinya dan sebagai perenungan bagi dirinya. Sehingga siswa bisa mengambil suatu pilihan dalam melakukan tindakan terhadap sesuatu.

3.     Siswa Teladan
Menjadi siswa teladan adalah sesuatu hal yang sangat sulit dan butuh kerja keras orangtua. Sangat penting bahwa para anak mengikuti jejak langkah orangtua mereka yang dimulai sejak dini.[34] Seperti Timotius oleh karena pengaruh Paulus telah membuktikan kemampuan dirinya dan telah membiarkan kuasa Allah mengubah sifat dasarnya. Paulus menjadi pola atau teladan bagi Timotius. Siswa teladan yang diharapkan dari siswa adalah memiliki sikap hidup tabah dan ulet (tidak takut gagal), giat, jujur, kasih atau kebaikan, sukacita atau bersyukur, sabar, murah hati, rendah hati atau tidak sombong, rajin, tertib, taat peraturan, rapi dan hidup tulus.[35]

Kesimpulan
Dalam pembentukan karakter anak selain guru disekolah, gereja,  orangtua mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dan penting. Orangtua perlu memberikan waktu dan perhatian yang ekstra dalam pembentukan karakter anak tersebut. Orangtua adalah pemegang peran penting dan punya rentang waktu yang sangat lama. Pembentukan karakter yang dimaksud adalah karakter yang menjurus kepada karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu karakter yang telah dipaparkan diatas disesuaikan dengan indikator-indikator yang diambil berdasarkan Kitab Ulangan 6:4-19. Sehingga karakter yang diharapkan dari anak adalah karakter yang sesuai dengan Alkitab.
Orangtua yang melakukan tanggung jawab dengan benar dari usia dini dari seorang  anak maka akan mempengaruhi karakter siswa untuk selamanya. Karakter siswa yang duduk di bangku sekolah yang pada saat ini, adalah suatu hasil olahan orangtua dari usia dini hingga dewasa. Ketika orang tua salah mendidik/memberikan pengajaran diawal didalam keluarga, maka akan bersifat fatal bagi masa depan anak, bagi orangtua atau keluarga dan bahkan bagi masyarakat.



       [1]Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Putra Harsa: 2001),565

       [2]Syamsu Yusuf, LN. M.Pd, Mental Hygiene...,155

       [3]Ibid,

       [4]Paulus Lilik Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta: Andi Offset: 2008), 139

       [5]Ibid, 140

       [6]Ibid, 146

       [7]Rubin Adi Abraham, Saya Murid Kristus-Modul Berakar, (Bandung: Blessing Media: 2009), 87


       [8]Ibid, 149

       [9]Ibid, 100-101

       [10]Ibid,101

       [11]Kent R. Brand – D. Charles Williams. Delapan Masalah Utama Orangtua dan Anak. Jakarta: Gunung Mulia: 1991), 53

       [12]Paulus Lilik Kristianto, M.Si.,Th.M, Prinsip dan Praktek..., 21

       [13]Yuprieli Hulu, S.PAK, M.Th., Janse Belandina Non, M.Si., Julia Suleeman, M.A.,M.A, Suluh Siswa Bertumbuh dalam Kristus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 111

       [14]Moody Press, Tafsiran Alkitab Wycliffe, Terj, (Malang: Gandum Mas: 2004), 186-187

       [15]Marjorie L. Thompson, Keluarga sebagai Pusat Pembentukan, Terj, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 96

       [17]J. Verkuyl, Etika Kristen Seri Seksual, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 1982), 17

       [18]Paulus Lilik Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan Praktek..., 21

       [19]Kent R. Brand – D. Charles Williams. Delapan Masalah Utama..., 43

       [20]Paulus Lilik Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan Praktek...,21


       [21]Steve Chalke, How to Succeed as a Parent, (Yogyakarta: Andi Offset: 2009), 120-
121

       [22]Paulus Lilik Kristianto, M.Si., Th.M, Prinsip dan Praktek...,20

       [23]Kent R. Brand – D. Charles Williams. Delapan Masalah..., 41

       [24]Moody Press, Tafsiran Alkitab Wycliffe, Terj..., 453

       [25]Dani K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia..., 237

       [26]Marjorie L. Thompson, Keluarga sebagai Pusat Pembentukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2001), 10

       [27]Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta:BPK Gunung Mulia: 2006), 120

       [28]Greg Zoschak, Membangun Karakter Terj, (Jakarta: Immanuel: 2003), 7

       [29]Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, 2010

       [30]B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul, (Yogyakarta: Andi: 2015), 31

       [31]Ibid, 55

       [32]Rick Warren. The Purpose Driven Life. (Malang,Jawa Timur: Gandim Mas: 2009), 206

       [33]Ibid, 207

       [34]Kent R. Brand – D. Charles Williams. Delapan Masalah..., 41


      [35]Jarot Wijanarko, Anak Berkarakter (Mendidik Anak, (Jakarta: Suara Pemulihan: 2006), 50