Latar Belakang Clinic Pastoral Education (CPE)
Sejarah awal Clinic Pastoral Education (CPE) berakar
pada gerakan pembaharuan pendidikan pada awal abad ke-20. Gerakan pembaharuan
pendidikan pada masa ini mempertanyakan nilai-nilai pembelajaran pada waktu itu
yang seolah-olah tanpa manfaat karena sangat lemah dalam hal implementasi/praktik.
Beberapa tokoh seperti John Dewey dalam bidang pendidikan, Richard Cabot dalam
bidang ilmu kedokteran dan William Keller dalam bidang pendidikan teologi,
mengusulkan metode pendidikan yang interaktif – suatu metode yang melibatkan
peserta didik dalam pembelajaran – dari konsep ke implementasi dan aplikasi
praktis. Gagasan ini kemudian memberikan inspirasi bagi Anton Boisen yang
melaksanakan kegiatan CPE pertama pada tahun 1925. Jadi, kegiatan CPE ini
muncul untuk menjawab kebutuhan khusus dalam pendidikan teologi, untuk
menjembatani jurang pemisah antara teori dan praktik.
CPE merupakan suatu pendekatan pada pendidikan teologi
dengan penekanan belajar melalui praktik pelayanan, atau belajar melalui
pengalaman (experiential learning). Program CPE menggunakan “metode
pembelajaran klinis”. Kata “klinis” (dalam CPE) berarti “bertemu dengan orang
(-orang) yang dilayani”. Penekanannya adalah proses pendidikan klinis-praktis,
bukan proses pendidikan yang sifatnya teoritis saja. Di sini jemaat, pasien,
keluarga, klien atau konseli, menjadi guru kita seiring dengan pelayanan kita
kepada mereka. Metode pembelajaran klinis ini fokus pada proses dan dinamika
kepedulian serta empati, belajar bagaimana mengetahui kebutuhan pendampingan,
dan belajar bagaimana memulai intervensi pendampingan pastoral yang efektif
bagi jemaat, pasien, klien atau konseli, dan pada saat yang sama juga berfungsi
bagi hamba Tuhan (konselor) sendiri. Itulah sebabnya CPE ini dikenal juga
sebagai “klinik bagi konseli – klinik bagi konselor”. Aksi dan refleksi perlu
dilakukan, yaitu sebuah proses yang berdasar pada pengembangan identitas
pastoral, otoritas pastoral, wawasan pastoral, keterampilan pendampingan dan
konseling pastoral, batas-batas pastoral dan kedewasaan spiritual. Pendekatan
melalui aksi dan refleksi ini membuka jalan bagi upaya untuk menjembatani dan
mengintegrasikan “teologi dan pengalaman”, “teori dan praktik”, “hamba Tuhan
dan jemaat”, “konselor dan konseli”, serta “pendidikan teologis klasik dan
kompetensi dalam melakukan pendampingan pastoral”.
Upaya untuk menyelidiki apa yang membuat suatu aksi,
aktifitas, atau apa yang membuat seseorang itu disebut “pastoral”,
merupakan fokus utama dari metode klinis yang dipakai dalam CPE ini. Kita
membangun fokus “pastoral” dengan memberikan peranan bagi pesertanya sebagai “chaplain,pendeta,
pendamping spiritual dan pemimpin rohani”. Melalui pelayanan yang dilakukan dan
kemudian berefleksi atas pelayanan itu, peserta menjadi mengerti dan melakukan
klarifikasi atas nilai-nilai, sikap, dan asumsi yang mereka bawa pada peran
pastoral. Jadi, refleksi ini sangat menolong dalam upaya mengidentifikasi dan
mengklarifikasi siapa kita sebagai pendeta,chaplain, pelayan,
konselor, pemimpin/pembimbing rohani, dan/atau pengelola suatu komunitas. Fokus
pastoral dari CPE secara khusus mengarah pada: refleksi pastoral, pembentukan
pastoral dan kompetensi (kemampuan) pastoral. Selama CPE,
pesertatertolong untuk bertumbuh dan memiliki rasa percaya diri yang
positif,memiliki perasaan/pengertian yang tepat akan kelebihan/kekuatan mereka,
demikian juga dengan kelemahan, otoritas pastoral, identitas pastoral dan
perkembangan spiritual mereka.
CPE pertama-tama dan
terutama adalah pendidikan. Kata “pendidikan” berakar pada kata Latin yang
berarti “membawa keluar”, atau kalau lebih hurufiah “memperluas wawasan”. CPE
ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok (grup) kecil di mana pesertanya saling
mendukung, saling berbagi dan saling memperkaya pengalaman dan pengetahuan.
Setiap peserta tentunya memiliki sumber daya yang kaya untuk saling belajar
dalam kelompok. Ini berarti peserta yang mendaftar di CPE datang dengan membawa
latar belakang kehidupan dan pengalaman pelayanan yang unik. Peserta juga
datang dengan perangkat nilai, sikap dan asumsi yang terbentuk melalui
pengalaman dalam konteks sosial dan budaya yang bisa saja membatasi atau
sebaliknya malah meningkatkan efektifitas pelayanan. CPE sebagai pengalaman
pendidikan berupaya untuk memperluas pandangan kita tentang apa saja
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam diri kita secara personal dan dalam
pelayanan masing-masing. Sebagai peserta yang menghadapi tugas pelayanan, sikap
yang telah dibangun sebelumnya akan “dibebaskan”. Kebebasan ini kadang-kadang
dialami sebagai sesuatu yang menekan, namun sesungguhnya merupakan awal yang
penting untuk memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang apa itu pelayanan
dan bagaimana kita bisa melayani dengan lebih baik. Pada akhir program,
diharapkan setiap peserta akan melihat pelayanan dan diri mereka masing-masing
dalam perspektif yang lebih luas.
Pelayanan konseling
pastoral dewasa ini dirasakan semakin penting, baik dari sisi teologisnya
maupun dari sisi praktisnya. Yakub B. Susabda, seorang ahli di bidang
pastoralia di Indonesia mengatakan bahwa pelayanan konseling pastoral ini
merupakan suatu pelayanan yang makin hari makin merebut tempat yang sentral
dalam seluruh kehidupan pelayanan gereja. Urgensi pelayanan konseling pastoral
ini tentunya pertama-tama bertitik tolak dari pengajaran Alkitab, terutama
pengajaran Tuhan Yesus dan bahkan yang telah dilakukan-Nya sendiri, misalnya
ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia akan memberikan kelegaan kepada setiap
orang yang datang kepada-Nya (Mat. 11:28). Pada sisi lain kebutuhan jemaat akan
pelayanan konseling pastoral ini sangat mendesak seiring dengan semakin
kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh jemaat kita dan tidak cukup ditangani
hanya satu kali saja, tetapi membutuhkan waktu beberapa kali pertemuan dan
pendampingan yang serius.
Ada berbagai jenis
atau pun metode yang dilakukan dalam pelayanan konseling pastoral ini. Salah
satunya adalah pastoral klinis. Secara sederhana pastoral klinis ini ditujukan
untuk memberi pelayanan yang lebih baik dan efektif kepada orang sakit. Dalam perkembangannya,
dan tanpa mengabaikan pelayanan konseling pastoral yang lain, ternyata
pelayanan pastoral klinis ini sangat dibutuhkan, dan dirasakan perlu adanya
suatu upaya untuk menolong para pelayan dalam melakukan pelayanan pastoral
secara lebih baik dan efektif. Dalam kerangka upaya menolong para pelayan
itulah kemudian muncul suatu pendidikan pastoral klinis, Clinical Pastoral
Education (CPE). Dalam banyak praktiknya, CPE ini bisa diterjemahkan sebagai
Pelatihan Pastoral Klinis. Pengalaman penulis sendiri dalam CPE menunjukkan
bahwa kegiatan ini sifatnya memang edukatif dan sekaligus melatih diri untuk
lebih baik secara personal (minister) dan profesional (ministry). Tulisan ini
sifatnya informatif tanpa kehilangan dimensi edukasinya.
CPE merupakan pelatihan
profesional yang sifatnya oikumenis, karena melibatkan peserta dari berbagai
denominasi gereja, dan berorientasi pada pelayanan. Pelatihan ini mengarahkan
pesertanya (yang biasanya mahasiswa/i teologi dan para pelayan gereja) dari
berbagai denominasi untuk berjumpa dengan orang-orang yang berada dalam krisis
(persons in crisis). Melalui perjumpaan yang intensif dengan orang-orang yang
membutuhkan karena krisis/masalah yang sedang mereka hadapi, ditambah dengan
umpan balik dari rekan-rekan peserta pelatihan dan supervisor, peserta
mengembangkan kesadaran baru akan diri mereka sendiri sebagai “manusia” dan
akan kebutuhan orang-orang yang dilayani.
Dari refleksi
teologis atas situasi-situasi manusia, peserta kemudian memperoleh pemahaman
yang baru tentang pelayanan, dan kemudian mengembangkan keahlian pastoralnya
dalam membangun relasi yang lebih baik secara personal dan profesional.
Oleh karena prinsip utama CPE adalah melayani dan
belajar dari pengalaman, maka jadwal setiap hari seringkali menyangkut seminar
klinis, di mana peserta mempresentasekan pelayanan pastoral yang telah
dilakukannya melalui penulisan verbatim, untuk disharingkan atau didiskusikan
bersama dengan peserta lain dan supervisor, dan selanjutnya mendapatkan
masukan-masukan (inputs) umpan balik (feedback), seminar didaktis dengan metode
ceramah atau kuliah, diskusi tentang buku atau artikel pastoral, eksplorasi
akan persoalan-persoalan teologis, pertemuan peserta dalam kelompok, pertemuan
antar-perseorangan dalam kelompok untuk sharing bersama dalam rangka membangun
kepedulian, dukungan dan relasi yang lebih baik satu dengan yang lain, dengan
tetap memberi tempat pada ibadah dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual,
serta kegiatan piknik kelompok – biasanya setelah evaluasi pada pertengahan
waktu (midpoint evaluation).
Pengalaman evaluasi dengan sesama peserta dan dengan
supervisor merupakan bagain dari pelatihan ini, yang dijadwalkan satu pada
pertengahan kegiatan dan satu pada akhir kegiatan pelatihan. Evaluasi ini
ditujukan untuk melihat dan mengetahui sejauh mana peserta telah memperoleh
manfaat dan telah bertumbuh selama pelatihan.
Pelayanan pastoral
adalah pelayanan gereja yang dibutuhkan di tengah krisis yang bersifat
multi-dimensional di Indonesia, baik yang bersifat sosial, seperti konflik antar-kelompok, maupun individual, seperti
tekanan jiwa atau stress mental yang dialami banyak orang.[1]
Situasi ini mendorong gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya
dalam upaya menolong orang agar mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan,
dan pendamaian.[2] Sampai saat ini, pelayanan pastoral yang
dilakukan gereja-gereja di Indonesia masih belum optimal karena jumlah tenaga yang
terbatas dan persiapan secara akademis-teoritis dengan pemahaman refleksi teologis yang tidak berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari.[3] Akibatnya, banyak tenaga pelayanan pastoral yang
hanya menguasai teori namun tidak terampil dalam melayani, dan banyak rumusan
teologi pastoral yang kurang relevan dengan kebutuhan orang-orang yang dilayani.[3]
Tokoh-tokoh Clinik
Pastoral Education (CPE)
Untuk mengatasi kelemahan pendidikan pastoral yang sangat bersifat
akademis-teoretis ini, seorang pendeta dan dua orang dokter di Amerika Serikat memulai suatu model pendidikan pastoral
baru, yang kemudian disebut dengan Clinical Pastoral Education
(disingkat CPE).[4]
Pendidikan ini bersifat klinis, artinya langsung melibatkan diri dalam kehidupan orang-orang yang dilayani, jadi dalam
pendekatan ini seseorang belajar pastoral pertama-tama dari living human
documents (manusia), dan bukan dari buku atau kuliah-kuliah tertentu.[5]
Beberapa tokoh yang pada akhirnya disebut sebagai perintis CPE, antara lain: William S. Keller,
Anton Boisen, dan Richard C. Cabot.[6]
Sebenarnya ketiga tokoh tersebut merintis CPE sebagai reaksi atas pendidikan teologi tradisional di Amerika Serikat pada waktu itu yang masih
bersifat intelektualistis.[7]
Mereka menyadari bahwa mahasiswa-mahasiswa teologi sebenarnya perlu belajar pastoral secara klinis, dan mahasiswa-mahasiswa teologi ini perlu mempelajari
pelayanan pastoral dari living human documents dan tidak hanya dari buku
atau kuliah-kuliah saja.[8]
Pada pergerakan awal dan perkembangan CPE tokohnya
adalah Pdt. Anton Boisen. Pdt. Anton Boisen adalah perintis pertama dari
gerakan CPE. Dialah pendeta pertama yang membina peserta dalam suatu pelatihan
yang sekarang kita kenal sebagai CPE. Dia yakin bahwa studi tentang
pengalaman-pengalaman manusia merupakan jalan untuk menantang peserta supaya
berpikir secara teologis. Dia menyebutnya sebagai upaya membaca dokumen manusia
yang hidup. Inilah yang menjadi suplemen penting pelatihan ini. Suatu saat pada
tahun 1925, Pdt. Boisen menjadi pasien di Boston, Massachusetts, U.S.A. Pada
saat-saat sepinya dia membutuhkan seseorang untuk mengungkapkan kebutuhannya.
Tidak ada seorang pun yang menyediakan waktu baginya. Dia menyadari bahwa
kesehatan merupakan keselarasan dari berbagai elemen yang tidak dapat dipenuhi
hanya oleh obat-obatan, tetapi juga meminta usaha-usaha terpadu dari unsur
spiritual dan psikologi. Ini merupakan penyembuhan dengan pendekatan holistik
di mana ilmu medis, iman/agama dan beberapa disiplin ilmu yang lain ikut
bersama membagi pengetahuan dan referensi mereka yang luas untuk membentuk tim
penyembuhan
CPE telah berkembang dan mendapatkan respon
internasional, sehingga telah menjadi kebutuhan umum. Perkembangannya juga
meluas ke negara-negara bagian lain di Amerika Serikat, dan di tahun 1965
seorang pendeta Episkopal Pdt.Albert Dalton memperkenalkan CPE ke Filipina dan
memulai pusat CPE di Rumah Sakit St. Luke’s Medical Center. Di sana ada salah
seorang supervisor perintis orang Filipina yang telah dilatih kemudian dikirim
ke Amerika Serikat, seperti Rev.Narciso Dumalagan. Dia kembali ke Filipina
setelah pelatihan 2 tahun, sedangkan yang lain tidak kembali. Di Filipina
sendiri CPE sekarang beroperasi di Metro Manila Centers seperti: RS St. Luke’s
Medical Center, Makati Medical Center, University of Santo Tomas Hospital, and
National Kidney Transplant Institute, Visayas: Silliman University Hospital and
Visayas Community Medical Center, Mindanao: San Pedro Hospital and Brokenshire
Integrated Health Ministries, Inc.
Pada tahun 2002 UEM mengutus Pdt. Horst Ostermann ke
Filipina untuk mengaktifkan kembali kegiatan CPE mereka yang sudah tidak aktif.
Horst memulainya di VCMC (Visayas Community Medical Center). Beberapa pendeta
atau pelayan gereja dari Indonesia anggota UEM turut pula diundang. Sekitar 20
orang dari Indonesia telah berpartisipasi dalam pelatihan selama 10 minggu itu
di kota Cebu, Filipina. Selanjutnya UEM memperkenalkan CPE di Indonesia. Pdt.
Horst Ostermann, seorang Pembina CPE dari Jerman sangat berjasa dalam
melaksanakan pelatihan CPE di Indonesia, yang pada awalnya bersifat pengenalan
saja di beberapa tempat di Sumatera dan Jawa. Pelatihan pertama dilaksanakan
pada tahun 2004 di Sumatera Utara. Pada tahun 2007 Suster Tentai Saniel membina
pelatihan pertama dengan waktu 10 minggu dengan mendapatkan sertifikasi dari
PCF yang dipilih oleh UEM. Pdt. Esther Gelloagan, dari UCCP, kemudian membina
pelatihan 10 minggu kedua. Setelahnya disupervisi oleh Pdt. Edward F. Sauro,
dari UCCP selama tiga kuarter sampai pada tahun 2009 ini. Dua pelatihan
terakhir, dibantu oleh seorang co-supervisor bernama Pdt. Lermy Lwankomezi dari
ELCT, Tanzania.
Manfaat
Program:
·
Pasien:
1.
Menyembuhkan dengan
mengenal dan menghargai nilai-nilai spiritual pasien;
2.
Memperkaya pasien
secara spiritual melalui pelayanan kehadiran (ministry of presence);
3.
Berjalan bersama
pasien dalam kesakitan, penderitaan dan krisis mereka;
4.
Merekomendasikan
pasien kepada perawat, dokter dan hal-hal administratif.
·
Keluarga:
1.
Mengenal dan
menghargai keluarga secara spiritual dengan memberikan dukungan melalui
kehadiran, tidak memaksakan agama, dan tidak mencoba menyelesaikan masalah;
2.
Memproses
perasaan-perasaan keluarga seperti kemarahan, kebingungan, keprihatinan dan
dukacita;
3.
Mengarahkan keluarga
pada kebutuhan-kebutuhan pasien;
4.
Mendengarkan perhatian
keluarga tentang pasien;
5.
Pada saat kematian
pasien, pelayan (chaplain) tinggal bersama keluarga;
6.
Memfasilitasi
keluarga dalam hal mengambil keputusan-keputusan medis;
7.
Menolong keluarga
dalam hal complain (keberatan).
·
Staf:
1.
Mendukung staf dalam
hal perhatian medis kepada pasien dan keluarga, dan sebaliknya;
2.
Memberikan/menyediakan
kehadiran spiritual;
3.
Menyediakan konseling
spiritual kepada staf (doa);
4.
Menyediakan tempat
yang aman untuk berkonsultasi dengan staf;
5.
Mengajarkan
rekonsiliasi bukan resolusi/pemecahan kesedihan/masalah;
6.
Mengajarkan bagaimana
berjalan bersama dengan pasien.
Daftar Pustaka
Daniel Susanto,
“Pendidikan Pastoral Klinis sebagai Salah Satu Model Pendidikan Pastoral”,
dalam Studi Institut PERSETIA tentang Pendidikan Pastoral Klinis (Jakarta:
PERSETIA, 1991)
David A. Steere,
“Supervising Pastoral Counseling”, dalam Clinical Handbook of Pastoral
Counseling, Vol. 1, Robert J. Wicks (ed.), (New York: Integration Books,
1993), 560. Lih. Juga David A. Steere (ed.), The Supervision of
Pastoral Care (Louisville: Westminster/John Knox Press, 1989)
Faber. H. Pastoral
Care and Clinical Training in America (Arnhem: Van Loghum Slaterus,
1961)
Gerkin. Charles V. The
Living Human Document: Re-Visioning Pastoral Counseling In A Hermeneutical
Mode (Nashville: Abingdon Press, 1984)
Holifield. E.
Brooks. A History of Pastoral Care in Amerika: From Salvation to
Self-Realization (Abingdon Press, Nashville, 1984)
Leahy. Louis. Siapakah
Manusia: Sintesis Filosofis tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius,
2001)
Singers. F. Supervisi
Pastoral: Tujuan dan Metode – Seri Pastoral 28 (Yogyakarta: Pusat
Pastoral Yogyakarta, 1996)
Susanto.
Daniel. Clinical Pastoral Education and Its Significance for
Indonesia (Kampen: Drukkerij van den Berg, 1999)
Thornton.
Edward. Profesional Education for Ministry (Nashville:
Abingdon Press, 1970)
Tjaard G. Hommes,
“Refleksi Teologi dan Pelayanan Pastoral”, dalam Teologi dan Praksis
Pastoral: Antologi Teologi Pastoral, Tjaard G. Hommes (ed.)
(Yogyakarta: Kanisius, 1992)