Minggu, 24 April 2016

Pembelajaran Multikulturan Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen

Multicultural Learning in Christian  Education.



I. Pendahualuan
Pendidikan Agama Kristen yang dilaksanakan di sekolah  sangatlah penting artinya dalam menegakkan dan mewujudkan masyarakat yang damai sejahtera dan tentram. Dalam realita kehidupan masyarakat masih banyak persoalan yang muncul dengan berbagai konflik yang terjadi yang seringkali dikaitkan dengan masalah agama. Pendidikan Agama Kristen hadir dan dihadirkan di tengah masyarakat adalah untuk melaksanakan amanat agung sebagaimana dalam Firman Allah. Pendidikan Agama Kristen yang adalah bagian dari tujuan pendidikan nasional dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui peserta didik. Kehadiran Pendidikan Agama Kristen juga dapat menjadi alat pembentuk dan pemersatu bangsa di tengah masyarakat majemuk yang berbeda agama, suku, ras, golongan, dsb. Selain itu, kehadiran Pendidikan Agama Kristen dapat berperan serta untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Pendidikan Agama Kristen harus terus- menerus berkembang seiring dengan kemajuan zaman; memampukan manusia agar sadar terhadap iptek, kreatif, inovatif, serta memiliki solidaritas tinggi; peka terhadap konteks pendidikan nasional, pergumulan bangsa dan menjawab kebutuhan orang percaya.
Menimbang realitas ini, issu agama, dan etnisitas masih dianggap sebagai pusat konfliknya. Disinilah tugas pendidik termasuk pendidik Pendidikan Agama Kristen untuk menaikkan kesadaran kritis di pihak Kristen agar tercapai “pendidikan multikulturalisme dan pluralisme.” Agar memahami secara proporsional, mau tidak mau Pendidikan Agama Kristen harus memperluas wilayah kajiannya dengan  bekerja sama dengan pendidik lain termasuk pendidik guru agama lain seperti Guru agama Islam, Guru Agama Budha, Guru Agama Hindu dan Bahkan Guru Gama Kong Hu Chu jika memungkinkan. Hal ini lah yang telah dikerjakan oleh guru-guru Agama di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda. Bahkan penulis selaku Pendidik Guru Agama Kristen perneh menemukan adanya kerja sama antar sesama murid yang berbeda agama dalam merancang satu kegiatan dimana kegiatan itu adalah untuk perayaan Natal Tuhan Yesus Kristus di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda. Hal merupakan salah satu indikasi keberhasilan pelaksanaan Pembelajaran Multikultural dari sisi Pendidikan Agama. Perlu dipahami bahwa pada hakekatnya tidak agama yang tidak mengajarkan  kebaikan. Secara Khusus dalam pendidikan Agama Kristen penekannnya adalah kasih yang harus dinyatakan kepada semua orang tanpa memandang perbedaan yang ada.
Berkaitan dengan konteks masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas, baik agama,suku, dan golongan,maka perlu dikaji ulang arah Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk. Diharapkan dengan pengajaran Pendidikan Agama Kristen dalam konteks masyarakat majemuk,peserta didik mampu hadir dan mempraktekkan imannya ditengah-tengah lingkungannya tanpa mengkompromikan dogma iman yang dimilikinya.
            Pendidikan Agama Kristen disekolah haruslah bermuara kepada transformasi baik dalam pengetahuan maupun dalam transformasi iman. Sebab salah satu tujuan pembelajaran agama di sekolah adalah untuk memampukan peserta didik hidup bersama dengan orang-orang lain disekitarnya yang memiliki keanekaragaman agama,suku,dan etnis.


II. Tantangan dalam mengajar
Dalam menerapkan pembelajaran multikultural di kelas bagi seorang pendidik /guru agama Kristen dapat dilihat dalam beberapa faktor. (1) Faktor guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki paradigma bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. (2) Faktor siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam kelas sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Lalu, terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar kelas juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka. (3) Faktor kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk setiap individu siswa. Pendidikan Agama Kristen mengajarkan bahwa kasih itu harus dinyakan kepada semua orang. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak materi yang harus disampaikan kepada peserta didik yang bersifat intern (kebenaran yang harus disampaikan kepada penganutnya). (4) Faktor pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda pula. Hal ini dapat dilihat dari liturgi ibadah yang dilakukan di awal dan diakhir yang secara tidak sadar sedang meyakinkan siswa akan kebenaran agama yang dianutnya.

III. Alasan mengapa RPP ini yang dipergunakan
            RPP dalam mata pelajaran Agama Kristen ini diambil dari materi yang berjudul “Karya Allah dalam Kpelbagaian” dipandang sesuai dengan konsep pembelajaran Multikultural. Ada beberapa materi yang relevan namum materi ini dianggap cukup merepresentasikan materi-materi yang lain. Materi ini juga dipandang Realitas dari pluralisme Masyarakat Indonesia yang didasari dasar teologis dan pedagogic dalam masyarakat majemuk yang sesuai dengan prinsip-prinsip Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk. Materi dalam RPP ini juga dilengkapi dengan pendekatan dan Strategi Pendidikan Agama Kristen serta Mengembangkan model PAK yang multikultur dan inklusif.

IV. Penyusunan Skenario Pembelajaran
Pembelajaran diawali dengan pengantar yang mengarahkan peserta didik untuk memahami inti sari pembahasan sekaligus menjelaskan mengapa topik ini diajarkan pada mereka. Sampai saat ini diskusi-diskusi mengenai keberagaman belum begitu mendarat di kalangan akar rumput atau rakyat bawah. Polarisasi antara kaya-miskin, agama A dengan agama  B, suku A dengan suku B serta pemahaman  mengenai  orang dalam dan orang luar masih cukup kental. Harus diakui, pola asuh dalam keluarga mempengaruhi cara pandang peserta didik mengenai keberagaman. Apalagi di Indonesia umumnya konflik yang ditengarai sebagai konflik antara umat beragama sebenarnya ditunggangi  oleh  kepentingan politik.  Bangsa kita  telah memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pengikat berbagai perbedaan suku,  budaya dan agama. Bahkan, guru-guru sendiri masih membutuhkan pencerahan menyangkut pemahaman yang benar mengenai keberagaman.  Perlu dicatat bahwa toleransi dalam berbagai perbedaan tidak berarti melebur tanpa identitas. Topik pelajaran ini dijabarkan dari Kompetensi Dasar mengenai bergaul dengan orang lain tanpa kehilangan identitas sebagai remaja Kristen.

Diskusi dan Berbagi Pengalaman
Dalam kegiatan ini, guru meminta peserta didik mendiskusikan hal-hal positif dan negatif dari keberagaman. Guru memberikan penekanan bahwa kemajemukan merupakan kenyataan di Indonesia. Sejak zaman dahulu kala keberagaman bangsa diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika bahkan dalam budaya masyarakat Indonesia  berkembang sikap gotong-royong dan saling tolong menolong tanpa memandang agama dan suku maupun budaya. Namun harus diakui terkadang ada unsur kepentingan lainnya yang menyebabkan terjadi konflik yang dipicu oleh keberagaman dalam masyarakat.  Kemudian guru meminta peserta didik melakukan diskusi mengenai apa saja hal-hal positif dan negatif dari keberagaman bangsa Indonesia. Misalnya, dari segi negatif,  keberagaman itu  menimbulkan perasaan curiga pada kelompok tertentu, dari segi positif, kita dapat saling belajar dari perbedaan  budaya, kebiasaan, tata cara dan bahasa daerah masing-masing.  Dengan demikian memperoleh pengetahuan baru.  Beri kesempatan  pada peserta didik untuk mendiskusikan  pengalaman riil mereka.  Di sekolah yang memiliki fasilitas memadai, dapat dilakukan kegiatan menonton film atau video mengenai keberagaman.

Penjelasan Guru
Pada bagian ini guru menjelaskan mengenai keberagaman dalam Alkitab. Perlu diberikan penekanan bahwa semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Keanekaragaman  yang ada tidak boleh mendistorsi martabat seseorang karena semua manusia sama di hadapan Allah. Bahkan Yesus  sendiri bersikap terbuka  terhadap keberagaman; keselamatan diberikan bagi segala bangsa di muka bumi.

Sikap Remaja Kristen tentang Keberagaman
Peserta didik melakukan  studi kasus melalui cerita yang diangkat dari koran setempat, lalu mereka diminta menentukan sikapnya berkaitan dengan kasus yang diangkat. Guru membimbing peserta didik dalam kegiatan ini. Jika ada di antara peserta didik yang masih memiliki pandangan sempit terhadap keberagaman, guru dapat meluruskan pandangan itu berpedoman pada prinsip-prinsip Alkitab yang sudah dibahas.

Membedah Tulisan
Di sini peserta didik membahas tulisan seorang remaja berusia 14 tahun dari Nigeria yang berhasil memenangkan kompetisi karya tulis untuk orang muda dalam rangka hidup damai di tengah perbedaan. Tulisan itu amat menyentuh hati sanubari dan usul-usul berupa program atau kegiatan dalam tulisan tersebut amat baik untuk coba dilakukan oleh peserta didik SMA kelas X. Setelah mempelajari tulisan tersebut, peserta didik diminta untuk menuliskan butir-butir berupa tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh remaja Kristen di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Dimulai dari kegiatan yang paling sederhana, misalnya menghargai  sesama tanpa memandang perbedaan, berteman tanpa memandang perbedaan. Apakah sudah ada upaya- upaya di kalangan remaja yang sama atau mirip dengan apa yang diusulkan oleh penulis remaja dari Nigeria itu?

Membuat Program Kerja atau Proyek Bersama
Kegiatan ini dilakukan untuk mewujudkan solidaritas dan perdamaian di tengah masya-rakat majemuk. Bentuk proyek bisa berupa:
·      majalah dinding  untuk mempublikasikan tulisan-tulisan yang berisi ajakan untuk membangun solidaritas dan perdamaian dalam masyarakat majemuk,
·      mengunjungi rumah-rumah ibadah agama lain dan mendengarkan penjelasan dari pemimpin agama setempat, melakukan kampanye perdamaian dll.

Menulis janji atau komitmen
Peserta didik diajak untuk mewujudkan solidaritas dan perdamaian dalam masyarakat dalam bentuk janji atau komitmen tentang apa yang ingin mereka lakukan dalam waktu dekat untuk mencapai tujuan ini.

Penilaian
Penilaian dilakukan dengan tes lisan, tulisan dan penilaian karya atau produk berupa program kerja yang ditulis dalam langkah-langkah sistimatis serta dapat dilaksanakan. Penilaian sikap dilakukan dengan memperhatikan bagaimana peserta didik melaksanakan program kerja yang telah dirumuskan.

V. Tips Mengembangkan Pembelajaran Multikultural di dalam kelas
            Ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural, diantaranya:
1.        Peran guru dan sekolah dalam membangun paradigma Keberagamaan.
Seorang guru termasuk guru agama Kristen merupakan salah satu faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai, karena seorang guru yang memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman tersebut kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal ini meliputi: Pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyingung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya. Guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Peran guru dan sekolah dalam menghargai keragaman bahasa. Seorang guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut di sekolah, sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Peran guru dan sekolah dalam membangun sensitivitas gender. Dalam pendidikan multicultural, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan membangun sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan.
2.        Melakukan Analisis dalam mengembangkan model pembelajaran yang Bernuansa Multikultural
Analisis ini dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. (e) karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural.
3.        Menetapkan Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis), strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut. Dalam pembelajaran Agama, di YP Sultan Iskandar Muda yang terdiri dari 4 Guru agama yaitu Guru Agama Islam, Guru Agama Kristen, Guru Agama Budha dan Guru Agama Hindhu. Kerap diadakan pembelajaran bersama tentunya materi pembelajaran umum yang mengarahakan anak didik berperilaku baik dan benar-benar siap dalam menapaki masa depan. Dalam hal ini setiap Guru Agama secara bergiliran memberikan ceramah berupa pencerahan, dari pengalaman ketika melakukannya, para peserta didik sangat tertarik karena akan menerima pencerahan dari Guru Agama yang berbeda namun mengarah kepada kebaikan.


Salam Kebenaran

Nyatakan kebenaran dimanapun kita berada, walau terkadang hal ini akan menui harga yang mahal dan mungkin akan merugikan diri sendiri namun percayalah akhirnya akan berbuah manis dan dapat dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita karena kebenaranlah yang akan memerdekakan kita. Salam Optimis

Rabu, 03 Februari 2016

CLINICAL PASTORAL EDUCATION (CPE)


Latar Belakang Clinic Pastoral Education (CPE)
Sejarah awal Clinic Pastoral Education (CPE) berakar pada gerakan pembaharuan pendidikan pada awal abad ke-20. Gerakan pembaharuan pendidikan pada masa ini mempertanyakan nilai-nilai pembelajaran pada waktu itu yang seolah-olah tanpa manfaat karena sangat lemah dalam hal implementasi/praktik. Beberapa tokoh seperti John Dewey dalam bidang pendidikan, Richard Cabot dalam bidang ilmu kedokteran dan William Keller dalam bidang pendidikan teologi, mengusulkan metode pendidikan yang interaktif – suatu metode yang melibatkan peserta didik dalam pembelajaran – dari konsep ke implementasi dan aplikasi praktis. Gagasan ini kemudian memberikan inspirasi bagi Anton Boisen yang melaksanakan kegiatan CPE pertama pada tahun 1925. Jadi, kegiatan CPE ini muncul untuk menjawab kebutuhan khusus dalam pendidikan teologi, untuk menjembatani jurang pemisah antara teori dan praktik.
CPE merupakan suatu pendekatan pada pendidikan teologi dengan penekanan belajar melalui praktik pelayanan, atau belajar melalui pengalaman (experiential learning). Program CPE menggunakan “metode pembelajaran klinis”. Kata “klinis” (dalam CPE) berarti “bertemu dengan orang (-orang) yang dilayani”. Penekanannya adalah proses pendidikan klinis-praktis, bukan proses pendidikan yang sifatnya teoritis saja. Di sini jemaat, pasien, keluarga, klien atau konseli, menjadi guru kita seiring dengan pelayanan kita kepada mereka. Metode pembelajaran klinis ini fokus pada proses dan dinamika kepedulian serta empati, belajar bagaimana mengetahui kebutuhan pendampingan, dan belajar bagaimana memulai intervensi pendampingan pastoral yang efektif bagi jemaat, pasien, klien atau konseli, dan pada saat yang sama juga berfungsi bagi hamba Tuhan (konselor) sendiri. Itulah sebabnya CPE ini dikenal juga sebagai “klinik bagi konseli – klinik bagi konselor”. Aksi dan refleksi perlu dilakukan, yaitu sebuah proses yang berdasar pada pengembangan identitas pastoral, otoritas pastoral, wawasan pastoral, keterampilan pendampingan dan konseling pastoral, batas-batas pastoral dan kedewasaan spiritual. Pendekatan melalui aksi dan refleksi ini membuka jalan bagi upaya untuk menjembatani dan mengintegrasikan “teologi dan pengalaman”, “teori dan praktik”, “hamba Tuhan dan jemaat”, “konselor dan konseli”, serta “pendidikan teologis klasik dan kompetensi dalam melakukan pendampingan pastoral”.
Upaya untuk menyelidiki apa yang membuat suatu aksi, aktifitas, atau apa yang membuat seseorang itu disebut  “pastoral”, merupakan fokus utama dari metode klinis yang dipakai dalam CPE ini. Kita membangun fokus “pastoral” dengan memberikan peranan bagi pesertanya sebagai “chaplain,pendeta, pendamping spiritual dan pemimpin rohani”. Melalui pelayanan yang dilakukan dan kemudian berefleksi atas pelayanan itu, peserta menjadi mengerti dan melakukan klarifikasi atas nilai-nilai, sikap, dan asumsi yang mereka bawa pada peran pastoral. Jadi, refleksi ini sangat menolong dalam upaya mengidentifikasi dan mengklarifikasi siapa kita sebagai pendeta,chaplain, pelayan, konselor, pemimpin/pembimbing rohani, dan/atau pengelola suatu komunitas. Fokus pastoral dari CPE secara khusus mengarah pada: refleksi pastoralpembentukan pastoral dan kompetensi (kemampuan) pastoral. Selama CPE, pesertatertolong untuk bertumbuh dan memiliki rasa percaya diri yang positif,memiliki perasaan/pengertian yang tepat akan kelebihan/kekuatan mereka, demikian juga dengan kelemahan, otoritas pastoral, identitas pastoral dan perkembangan spiritual mereka.
CPE pertama-tama dan terutama adalah pendidikan. Kata “pendidikan” berakar pada kata Latin yang berarti “membawa keluar”, atau kalau lebih hurufiah “memperluas wawasan”. CPE ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok (grup) kecil di mana pesertanya saling mendukung, saling berbagi dan saling memperkaya pengalaman dan pengetahuan. Setiap peserta tentunya memiliki sumber daya yang kaya untuk saling belajar dalam kelompok. Ini berarti peserta yang mendaftar di CPE datang dengan membawa latar belakang kehidupan dan pengalaman pelayanan yang unik. Peserta juga datang dengan perangkat nilai, sikap dan asumsi yang terbentuk melalui pengalaman dalam konteks sosial dan budaya yang bisa saja membatasi atau sebaliknya malah meningkatkan efektifitas pelayanan. CPE sebagai pengalaman pendidikan berupaya untuk memperluas pandangan kita tentang apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam diri kita secara personal dan dalam pelayanan masing-masing. Sebagai peserta yang menghadapi tugas pelayanan, sikap yang telah dibangun sebelumnya akan “dibebaskan”. Kebebasan ini kadang-kadang dialami sebagai sesuatu yang menekan, namun sesungguhnya merupakan awal yang penting untuk memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang apa itu pelayanan dan bagaimana kita bisa melayani dengan lebih baik. Pada akhir program, diharapkan setiap peserta akan melihat pelayanan dan diri mereka masing-masing dalam perspektif yang lebih luas.
Pelayanan konseling pastoral dewasa ini dirasakan semakin penting, baik dari sisi teologisnya maupun dari sisi praktisnya. Yakub B. Susabda, seorang ahli di bidang pastoralia di Indonesia mengatakan bahwa pelayanan konseling pastoral ini merupakan suatu pelayanan yang makin hari makin merebut tempat yang sentral dalam seluruh kehidupan pelayanan gereja. Urgensi pelayanan konseling pastoral ini tentunya pertama-tama bertitik tolak dari pengajaran Alkitab, terutama pengajaran Tuhan Yesus dan bahkan yang telah dilakukan-Nya sendiri, misalnya ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia akan memberikan kelegaan kepada setiap orang yang datang kepada-Nya (Mat. 11:28). Pada sisi lain kebutuhan jemaat akan pelayanan konseling pastoral ini sangat mendesak seiring dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh jemaat kita dan tidak cukup ditangani hanya satu kali saja, tetapi membutuhkan waktu beberapa kali pertemuan dan pendampingan yang serius.
Ada berbagai jenis atau pun metode yang dilakukan dalam pelayanan konseling pastoral ini. Salah satunya adalah pastoral klinis. Secara sederhana pastoral klinis ini ditujukan untuk memberi pelayanan yang lebih baik dan efektif kepada orang sakit. Dalam perkembangannya, dan tanpa mengabaikan pelayanan konseling pastoral yang lain, ternyata pelayanan pastoral klinis ini sangat dibutuhkan, dan dirasakan perlu adanya suatu upaya untuk menolong para pelayan dalam melakukan pelayanan pastoral secara lebih baik dan efektif. Dalam kerangka upaya menolong para pelayan itulah kemudian muncul suatu pendidikan pastoral klinis, Clinical Pastoral Education (CPE). Dalam banyak praktiknya, CPE ini bisa diterjemahkan sebagai Pelatihan Pastoral Klinis. Pengalaman penulis sendiri dalam CPE menunjukkan bahwa kegiatan ini sifatnya memang edukatif dan sekaligus melatih diri untuk lebih baik secara personal (minister) dan profesional (ministry). Tulisan ini sifatnya informatif tanpa kehilangan dimensi edukasinya.
CPE merupakan pelatihan profesional yang sifatnya oikumenis, karena melibatkan peserta dari berbagai denominasi gereja, dan berorientasi pada pelayanan. Pelatihan ini mengarahkan pesertanya (yang biasanya mahasiswa/i teologi dan para pelayan gereja) dari berbagai denominasi untuk berjumpa dengan orang-orang yang berada dalam krisis (persons in crisis). Melalui perjumpaan yang intensif dengan orang-orang yang membutuhkan karena krisis/masalah yang sedang mereka hadapi, ditambah dengan umpan balik dari rekan-rekan peserta pelatihan dan supervisor, peserta mengembangkan kesadaran baru akan diri mereka sendiri sebagai “manusia” dan akan kebutuhan orang-orang yang dilayani.
Dari refleksi teologis atas situasi-situasi manusia, peserta kemudian memperoleh pemahaman yang baru tentang pelayanan, dan kemudian mengembangkan keahlian pastoralnya dalam membangun relasi yang lebih baik secara personal dan profesional.
Oleh karena prinsip utama CPE adalah melayani dan belajar dari pengalaman, maka jadwal setiap hari seringkali menyangkut seminar klinis, di mana peserta mempresentasekan pelayanan pastoral yang telah dilakukannya melalui penulisan verbatim, untuk disharingkan atau didiskusikan bersama dengan peserta lain dan supervisor, dan selanjutnya mendapatkan masukan-masukan (inputs) umpan balik (feedback), seminar didaktis dengan metode ceramah atau kuliah, diskusi tentang buku atau artikel pastoral, eksplorasi akan persoalan-persoalan teologis, pertemuan peserta dalam kelompok, pertemuan antar-perseorangan dalam kelompok untuk sharing bersama dalam rangka membangun kepedulian, dukungan dan relasi yang lebih baik satu dengan yang lain, dengan tetap memberi tempat pada ibadah dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual, serta kegiatan piknik kelompok – biasanya setelah evaluasi pada pertengahan waktu (midpoint evaluation).
Pengalaman evaluasi dengan sesama peserta dan dengan supervisor merupakan bagain dari pelatihan ini, yang dijadwalkan satu pada pertengahan kegiatan dan satu pada akhir kegiatan pelatihan. Evaluasi ini ditujukan untuk melihat dan mengetahui sejauh mana peserta telah memperoleh manfaat dan telah bertumbuh selama pelatihan.
Pelayanan pastoral adalah pelayanan gereja yang dibutuhkan di tengah krisis yang bersifat multi-dimensional di Indonesia, baik yang bersifat sosial, seperti konflik antar-kelompok, maupun individual, seperti tekanan jiwa atau stress mental yang dialami banyak orang.[1] Situasi ini mendorong gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya dalam upaya menolong orang agar mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan, dan pendamaian.[2]  Sampai saat ini, pelayanan pastoral yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia masih belum optimal karena jumlah tenaga yang terbatas dan persiapan secara akademis-teoritis dengan pemahaman refleksi teologis yang tidak berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari.[3] Akibatnya, banyak tenaga pelayanan pastoral yang hanya menguasai teori namun tidak terampil dalam melayani, dan banyak rumusan teologi pastoral yang kurang relevan dengan kebutuhan orang-orang yang dilayani.[3]

Tokoh-tokoh Clinik Pastoral Education (CPE)
Untuk mengatasi kelemahan pendidikan pastoral yang sangat bersifat akademis-teoretis ini, seorang pendeta dan dua orang dokter di Amerika Serikat memulai suatu model pendidikan pastoral baru, yang kemudian disebut dengan Clinical Pastoral Education (disingkat CPE).[4] Pendidikan ini bersifat klinis, artinya langsung melibatkan diri dalam kehidupan orang-orang yang dilayani, jadi dalam pendekatan ini seseorang belajar pastoral pertama-tama dari living human documents (manusia), dan bukan dari buku atau kuliah-kuliah tertentu.[5] Beberapa tokoh yang pada akhirnya disebut sebagai perintis CPE, antara lain: William S. Keller, Anton Boisen, dan Richard C. Cabot.[6] Sebenarnya ketiga tokoh tersebut merintis CPE sebagai reaksi atas pendidikan teologi tradisional di Amerika Serikat pada waktu itu yang masih bersifat intelektualistis.[7] Mereka menyadari bahwa mahasiswa-mahasiswa teologi sebenarnya perlu belajar pastoral secara klinis, dan mahasiswa-mahasiswa teologi ini perlu mempelajari pelayanan pastoral dari living human documents dan tidak hanya dari buku atau kuliah-kuliah saja.[8]
Pada pergerakan awal dan perkembangan CPE tokohnya adalah Pdt. Anton Boisen. Pdt. Anton Boisen adalah perintis pertama dari gerakan CPE. Dialah pendeta pertama yang membina peserta dalam suatu pelatihan yang sekarang kita kenal sebagai CPE. Dia yakin bahwa studi tentang pengalaman-pengalaman manusia merupakan jalan untuk menantang peserta supaya berpikir secara teologis. Dia menyebutnya sebagai upaya membaca dokumen manusia yang hidup. Inilah yang menjadi suplemen penting pelatihan ini. Suatu saat pada tahun 1925, Pdt. Boisen menjadi pasien di Boston, Massachusetts, U.S.A. Pada saat-saat sepinya dia membutuhkan seseorang untuk mengungkapkan kebutuhannya. Tidak ada seorang pun yang menyediakan waktu baginya. Dia menyadari bahwa kesehatan merupakan keselarasan dari berbagai elemen yang tidak dapat dipenuhi hanya oleh obat-obatan, tetapi juga meminta usaha-usaha terpadu dari unsur spiritual dan psikologi. Ini merupakan penyembuhan dengan pendekatan holistik di mana ilmu medis, iman/agama dan beberapa disiplin ilmu yang lain ikut bersama membagi pengetahuan dan referensi mereka yang luas untuk membentuk tim penyembuhan
CPE telah berkembang dan mendapatkan respon internasional, sehingga telah menjadi kebutuhan umum. Perkembangannya juga meluas ke negara-negara bagian lain di Amerika Serikat, dan di tahun 1965 seorang pendeta Episkopal Pdt.Albert Dalton memperkenalkan CPE ke Filipina dan memulai pusat CPE di Rumah Sakit St. Luke’s Medical Center. Di sana ada salah seorang supervisor perintis orang Filipina yang telah dilatih kemudian dikirim ke Amerika Serikat, seperti Rev.Narciso Dumalagan. Dia kembali ke Filipina setelah pelatihan 2 tahun, sedangkan yang lain tidak kembali. Di Filipina sendiri CPE sekarang beroperasi di Metro Manila Centers seperti: RS St. Luke’s Medical Center, Makati Medical Center, University of Santo Tomas Hospital, and National Kidney Transplant Institute, Visayas: Silliman University Hospital and Visayas Community Medical Center, Mindanao: San Pedro Hospital and Brokenshire Integrated Health Ministries, Inc.
Pada tahun 2002 UEM mengutus Pdt. Horst Ostermann ke Filipina untuk mengaktifkan kembali kegiatan CPE mereka yang sudah tidak aktif. Horst memulainya di VCMC (Visayas Community Medical Center). Beberapa pendeta atau pelayan gereja dari Indonesia anggota UEM turut pula diundang. Sekitar 20 orang dari Indonesia telah berpartisipasi dalam pelatihan selama 10 minggu itu di kota Cebu, Filipina. Selanjutnya UEM memperkenalkan CPE di Indonesia. Pdt. Horst Ostermann, seorang Pembina CPE dari Jerman sangat berjasa dalam melaksanakan pelatihan CPE di Indonesia, yang pada awalnya bersifat pengenalan saja di beberapa tempat di Sumatera dan Jawa. Pelatihan pertama dilaksanakan pada tahun 2004 di Sumatera Utara. Pada tahun 2007 Suster Tentai Saniel membina pelatihan pertama dengan waktu 10 minggu dengan mendapatkan sertifikasi dari PCF yang dipilih oleh UEM. Pdt. Esther Gelloagan, dari UCCP, kemudian membina pelatihan 10 minggu kedua. Setelahnya disupervisi oleh Pdt. Edward F. Sauro, dari UCCP selama tiga kuarter sampai pada tahun 2009 ini. Dua pelatihan terakhir, dibantu oleh seorang co-supervisor bernama Pdt. Lermy Lwankomezi dari ELCT, Tanzania.

Manfaat Program:
·         Pasien:
1.    Menyembuhkan dengan mengenal dan menghargai nilai-nilai spiritual pasien;
2.    Memperkaya pasien secara spiritual melalui pelayanan kehadiran (ministry of presence);
3.    Berjalan bersama pasien dalam kesakitan, penderitaan dan krisis mereka;
4.    Merekomendasikan pasien kepada perawat, dokter dan hal-hal administratif.

·         Keluarga:
1.     Mengenal dan menghargai keluarga secara spiritual dengan memberikan dukungan melalui kehadiran, tidak memaksakan agama, dan tidak mencoba menyelesaikan masalah;
2.     Memproses perasaan-perasaan keluarga seperti kemarahan, kebingungan, keprihatinan dan dukacita;
3.     Mengarahkan keluarga pada kebutuhan-kebutuhan pasien;
4.     Mendengarkan perhatian keluarga tentang pasien;
5.     Pada saat kematian pasien, pelayan (chaplain) tinggal bersama keluarga;
6.     Memfasilitasi keluarga dalam hal mengambil keputusan-keputusan medis;
7.     Menolong keluarga dalam hal complain (keberatan).

·         Staf:
1.     Mendukung staf dalam hal perhatian medis kepada pasien dan keluarga, dan sebaliknya;
2.     Memberikan/menyediakan kehadiran spiritual;
3.     Menyediakan konseling spiritual kepada staf (doa);
4.     Menyediakan tempat yang aman untuk berkonsultasi dengan staf;
5.     Mengajarkan rekonsiliasi bukan resolusi/pemecahan kesedihan/masalah;
6.     Mengajarkan bagaimana berjalan bersama dengan pasien.


Daftar Pustaka

Daniel Susanto, “Pendidikan Pastoral Klinis sebagai Salah Satu Model Pendidikan Pastoral”, dalam Studi Institut PERSETIA tentang Pendidikan Pastoral Klinis (Jakarta: PERSETIA, 1991)
David A. Steere, “Supervising Pastoral Counseling”, dalam Clinical Handbook of Pastoral Counseling, Vol. 1, Robert J. Wicks (ed.), (New York: Integration Books, 1993), 560. Lih. Juga David A. Steere (ed.), The Supervision of Pastoral Care (Louisville: Westminster/John Knox Press, 1989)
Faber. H. Pastoral Care and Clinical Training in America (Arnhem: Van Loghum Slaterus, 1961)
Gerkin. Charles V. The Living Human Document: Re-Visioning Pastoral Counseling In A Hermeneutical Mode (Nashville: Abingdon Press, 1984)
Holifield. E. Brooks. A History of Pastoral Care in Amerika: From Salvation to Self-Realization (Abingdon Press, Nashville, 1984)
Leahy. Louis. Siapakah Manusia: Sintesis Filosofis tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Singers. F. Supervisi Pastoral: Tujuan dan Metode – Seri Pastoral 28 (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1996)
Susanto. Daniel. Clinical Pastoral Education and Its Significance for Indonesia (Kampen: Drukkerij van den Berg, 1999)
Thornton. Edward. Profesional Education for Ministry (Nashville: Abingdon Press, 1970)
Tjaard G. Hommes, “Refleksi Teologi dan Pelayanan Pastoral”, dalam Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral, Tjaard G. Hommes (ed.) (Yogyakarta: Kanisius, 1992)





[1] Daniel Susanto.2009.Clinical Pastoral Education:Sebuah Model Pendidikan Pastoral di Indonesia.Jakarta:Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.Hlm.53.

[2] Hlm.53.

[3] Hlm.54.

[4] Daniel Susanto.2009.Clinical Pastoral Education:Sebuah Model Pendidikan Pastoral di Indonesia.Jakarta:Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.Hlm.54.

[5] Ibid Hlm.55

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid 56