Pada awal tahun 2017
tepat pada bulan januari lalu, SMA Sultan Iskandar Muda mengadakan suatu
kegiatan yang bernama “Resolusi 2017 Era Baru Semangat Baru”. Kegiatan ini bertujuan
untuk memotivasi siswa sehingga semakin semangat mengikuti kegiatan pembelajaran
disekolah. Dalam kegiatan tersebut siswa dibagi dalam beberapa kelompok, salah
satu nama kelompok yang terbentuk dan sangat menyita perhatian penulis yaitu
kelompok “KOMUNIS”. Melihat adanya nama kelompok ini penulis yang juga bertugas
sebagai pembimbing langsung mencari tahu apa maksud dan tujuan munculnya nama
kelompok tersebut. Ternyata setelah diselidiki nama kelompok “KOMUNIS” ternyata
hanyalah sebuah akronim dari Komunitas Multi Etnis dimana setiap anggota
kelompoknya terdiri dari suku, agama yang berbeda dan mereka sangat kompak dan
mampu bekerja sama dengn baik ketika mengikuti kegiatan tersebut.
Munculnya kelompok KOMUNIS
dalam kegiatan tersebut merupakan salah satu nama-nama unik yang diciptakan
oleh siswa SMA Sultan Iskandar Muda yang meceritakan tentang keberagaman dan
tetap dalam kebersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa sebahagian besar dari siswa-siswi tersebut telah memiliki
rasa persaudaraan dan cita sesama, walaupun harus diakuai bahwa hal ini masih dalam proses dan perlu dikembangkan lebih lagi
sehingga makin dewasa dan menjadi modal yang sangat kuta untuk hidup
bersama-sama ditengah masyarakat sekitar yang sangat multikultural dan
pluralis. Menjadi pribadi yang humanis bukanlah sesuatu yang mudah dicapai.
Untuk mencapainya, secara personal seseorang harus mampu menyeimbangkan
hubungan yang baik kepada pencipta-Nya dan juga kepada sesama manusia yang
merupakan ciptaan yang maha kuasa . Jika setiap manusia menyadari akan hal ini,
maka suasana harmonis yang merupakan dambaan setiap orang akan mudah diraih dan
dirasakan besarma. Akan tetapi perlu disadari bahwa suasana harmonis ditengah
keberagaman atau bahkan disebutkan beberapa orang dengan perbedaan merupakan
hal yang harus diupayakan secara optimal dan serius oleh semua pihak dan
kalangan, baik pemerintah maupun pihak swasta, elompok (komunitas) atau pribadi
(personal).
Pada Tahun 2010 pada
saat pemilihan walikota medan, penulis membaca tulisan dari kompasiana
menyatakan bahwa pak Sofyan Tan, Si “Walikota Rakyat” Medan merupakan sosok
walikota yang diyakini mampu memimpin dan memenangkan pilkada. Namun kenyataan
yang ada harapan tersebut belum terwujud. Diyakini pelaksanaan pilkada tersebut
sarat dengan kecurangan. Namun hal menarik dan perlu dikemukakan adalah adanya
pengalaman penulis yang pernah melihat satu spanduk dijalan A.R. Hakim, Medan
yang menyatakan satu statment yakni “Jangan
Memilih Penyembah Api” dan menurut kesaksian salah satu Guru yang juga
merupakan teman penulis yang mengajar di SMA Sultan Iskandar Muda, juga pernah
melihat satu Spanduk Yang bertuliskan “Jangan
Memilih Pemimpin Yang Bukan Satu Agamamu”. Pada awalnya penulis melihat hal
itu merupakan hal yang dapat dimaklumi dalam situasi kampanye pilkada, namun
ketika penulis mencoba memikirkan hal tersebut sebagai seseorang yang
menyandang predikat Guru Agama dalam hal ini Guru Agama Kristen. Hal ini
menimbulkan keresahan tersendiri bagi diri penulis sebagai pendidik agama oleh
karena kata-kata dalam spanduk diatas merupakan kata-kata yang tidak mendidik
umat dan bahkan meprovokasi sehingga memandang seseorang secara subyektif saja
ketika memilih pemimpin dan bukan kompetensi yang dimiliki, karena pada
kenyataannya dr. Sofyan Tan tetap dipercaya oleh masyarakat kota medan dan
bahkan sebaghain besar masyarakat Sumatra Utara khusunya Daerah Pemilihan I
(Dapil I) yakni Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi dan Serdang Bedagai memilih
dan mempercayakan beliau sebagai utusan rakyat di parlemen sebagai Anggaota
Legislatif dari PDI Perjuangan yang kini duduk di Komisi X DPR Republik
Indonesia yang berurusan dengan dunia pendidikan.
Kejadian atau peristiwa
yang mungkian hampir serupa juga terjadi pada saat pemilihan pemimpin yaitu pilkada
Cagub dan Wagub di Jakarta yang sarat dengan perdebatan masalah agama dan etnis.
Memang banyak faktor yang memungkin masalah agama dan etnis menjadi
perbinacangan hangat dalam pesta rakyat tersebut. Namun yang ingin penulis kemukakan
adalah isu religi / keagamaan masih
tetap menjadi trend seter. Menurut
penulis hal perlu diperhatikan dengan baik, tidak dapat dipungkuri bahwa dalam
dunia politik selalu saja ada masalah-masalah yang muncul, namun jangan sampai
menghalalkan segala cara apalagi menggunakan issu agama/religi yang sebanarnya
sakral dan bertujuan untuk menciptkan manusia yanng berperilaku baik dan benar
serta memiliki rasa kebersamaan dan persaudaraa yang baik dan benar.Dalam hal
ini tugas pendidik termasuk pendidik Pendidikan Agama untuk menaikkan kesadaran
yang serius untuk mencapai “pendidikan multikulturalisme dan pluralisme.” Agar
memahami secara proporsional, mau tidak mau Pendidikan Agama harus memperluas
wilayah kajiannya dengan bekerja sama
dengan pendidik lain termasuk pendidik guru agama lain seperti Guru agama
Islam, Guru Agama Budha, Guru Agama Hindu dan Bahkan Guru Gama Kong Hu Chu jika
memungkinkan..
Dalam kegiatan Resolusi diawal tahun
yang lalu, ditampilkan beberapa cuplikan Vidio tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan keagaamaan, seperti: Pembakaran Gereja GKKPD (Gereja Kristen
Pak-pak Dairi) di Singkil, Pengeboman Gereja Katolik di Jalan Dr. Mansyur di
Medan, Pembakaran beberapa Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai, Penutupan
Mesjid di Tolikara serta pemberian izin pendirian kuil bagi umat Hindu. Setelah
menyaksikan beberapa vidio tersebut, penulis melihat ekspresi tidak senang dan
tidak setuju dari apa yang tekag terjadi. Setelah menyaksikan vidio tersebut
para peserta didik diminta menuliskan pendapat masing-masing dan setelah
dikumpulkan dan memeriksa jawaban seluruh peserta didik dapat diambil
kesimpulan bahwa keseluruhan dari merela tidak setuju dengan kejadian-kejadian
tersebut dan tidak sedikit dari memeraka yang berharap kejadian tersebut tidak
terjadi lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengharapakan semua
warga negara hidup dalam perdamaian, kasih sayang dan sangat anti diskriminasi.
Hal ini merupakan salah satu indikasi keberhasilan pelaksanaan Pembelajaran
Multikultural dari sisi Pendidikan Agama. Perlu dipahami bahwa pada hakekatnya
tidak ada agama yang tidak mengajarkan
kebaikan. Secara Khusus dalam pendidikan Agama fokusnya adalah kasih
yang harus dinyatakan kepada semua orang tanpa memandang perbedaan yang ada
sekalipun perbedaan tidak dapat dihindarkan antara satu dengan yang lain
Pemicu Sikap
Antidiskriminasi
Melihat ekisistensi
masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas, baik agama,suku,
dan golongan, maka perlu dikaji ulang arah Pendidikan Agama dalam masyarakat
majemuk. Diharapkan dengan pengajaran Pendidikan Agama dalam konteks masyarakat
majemuk, peserta didik mampu hadir dan mempraktekkan imannya ditengah-tengah
lingkungannya tanpa mengkompromikan dogma iman yang dimilikinya. Hal ini harus
pahami dengan sikap yang benar oleh setiap manusia. Ada beberapa siskap yang
harus dihindari dalam mewujudkan multikultural yang rukun dan bersatu serta
antidiskriminasi, yaitu:
1.
Primordialisme
Primordialisme artinya perasaan
kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling unggul,
maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat yang
multikultural seperi Indonesia. Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu
bangsa, maka kecil kemungkinan mereka untuk menerima keberadaan suku bangsa
yang lain.
2.
Etnosentrisme
Etnosentrime artinya sikap atau
pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya
disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan
yang lain. Indonesia dapat maju dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang
muncul adalah diintegrasi sosial yang memnghasilkan dishumanisme. Apabila sikap
dan pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan provinsialvisme yaitu paham
atau gerekan yang bersifat kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang
mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarkat.
3.
Diskriminatif
Diskrimintaif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama
watga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama,
dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu
munculnya antisipasi terhadap sesama watga negara.
4.
Stereotip
Stereotip adalah konsepsi
mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak
tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing suku
bangsa memiliki ciri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita benar-benar
hingga membentuk sebuah kebencian.
Secara teori beberapa paham atau
sikap diatas diyakini sepenuhnya merupakan hal yang tidak baik dan harus
dihindari. Namun dalam peristiwa-periswa atau kondisi tertentu apalagi hal itu
merupakan peristiwa atau kondisi yang tidak diharapkan terjadi maka sikap-sikap
tersebut akan munculnya secara sendirinya. Hal ini juga dapat dirasakan penulis
ketika resolusi SMA diawal Tahun yang lalu, ketika para peserta didik diminta
memberikan penilaian terhadap sesama dan mereka merupakan teman yang berbeda
dengan dirinya, tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata tetap juga ditemukan
jawaban-jawaban yang berkenaan dengan sikap-sikap diatas. Pertanyaan yang
diberikan yaitu: Tuliskan pendapatmu jika mendengar suku Batak, Jawa, Padang,
Tionghoa dan Tamil ! Maka jawaban peserta yang telah disimpulkan oleh para guru
pembimbing menyatakan bahwa Suku batak itu kasar, suku jawa lembut tapi lamban,
Suku padang Pelit, Suku Tionghoa Sipit dan Pelit dan Tamil itu hitam. Memang
tidak semua jawaban yang negatif juga ditemukan jawaban yang positif dari
peserta didik seperti Suku batak itu Tegas dan pintar menyanyi, suku jawa
lembut dan manis, Suku padang pintar memasak, Suku Tionghoa rajin dan pekerja
keras dan Tamil suka seni. Namun tetap saja penilaian yang negatif sebelumnya
perlu ditindak lanjuti sehingga tidak merusak hubungan yang baik antara satu
pribadi dengan yang lain.
Tanggung
Jawab Pendidikan Agama
Sebagaimana diketahui bersama bahwa model
pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian , yaitu pendidikan nasional dan pendidikan
agama. Pendidikan yang ada sekarang ini lebih fokus pada penggunaan metode kajian yang
bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan
nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat
normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan. Sedangkan pendidikan
nasional lebih cenderung pada akal (inteligensi). Jadi sangat sulit menemukan satu konsep pendidikan yang benar-benar menyeluruh (komprehensif) dan yang terintegrasi.
Pendidikan Agama
merupakan salah satu materi pelajaran yang diyakini mampu menciptakan pribadi
yang mencintai kebersamaan. Akan tetapi salah satu masalah yang kerap kali
sangat sentimentil dan dijadikan alasan munculnya permasalah multikultural
adalah tentang perbedaaan agama dan keyakinan. Pendidikan Agama yang dilaksanakan di sekolah sangatlah penting artinya dalam menegakkan
dan mewujudkan masyarakat yang damai sejahtera dan tentram. Dalam realita
kehidupan masyarakat masih banyak persoalan yang muncul dengan berbagai konflik
yang terjadi yang seringkali dikaitkan dengan masalah agama. Pendidikan Agama
hadir dan dihadirkan di tengah masyarakat adalah untuk melaksanakan amanat agung
sebagaimana dalam Firman Allah. Pendidikan Agama yang adalah bagian dari tujuan
pendidikan nasional dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui peserta
didik. Kehadiran Pendidikan Agama juga dapat menjadi alat pembentuk dan
pemersatu bangsa di tengah masyarakat majemuk yang berbeda agama, suku, ras,
golongan, dsb. Selain itu, kehadiran Pendidikan Agama dapat berperan serta
untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Pendidikan Agama harus terus-
menerus berkembang seiring dengan kemajuan zaman; memampukan manusia agar sadar
terhadap iptek, kreatif, inovatif, serta memiliki solidaritas tinggi; peka
terhadap konteks pendidikan nasional, pergumulan bangsa dan menjawab kebutuhan
orang percaya.
Pendidikan
Agama disekolah haruslah bermuara kepada perubahan (transformasi) baik dalam
pengetahuan (kognitif) maupun dalam
transformasi iman (spritual) yang juga akan menghasilkan transformasi sikap
(afektif). Sebab salah satu tujuan pembelajaran agama di sekolah adalah untuk
memampukan peserta didik hidup bersama dengan orang-orang lain disekitarnya
yang memiliki keanekaragaman agama,suku,dan etnis. Apabila hal ini tidak
dikerjakan dengan maksimal maka akan menimbulkan masalah-masalah yang tidak
diharapakan. Salah satu hal munculnya permasalahan itu adalah
adanya pemahaman yang berbeda tentang hakikat manusia. bergamnya perbedaan
pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin nyata
secara teoritis dan juga secara praktek dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata
ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat
kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak
yang lain salah, sehingga harus diluruskan. Manusia dan pendidikan adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan
pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua
segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan
dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses
pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya
nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak
berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam
tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang,
penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran,
dan sebagainya.
B
angsa
Indonesia yang begitu multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang
mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik
keluar dari eksklusifitas
beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi
bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi. Pelajaran agama diajarkan
sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa
dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang
menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era
pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis
paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik
yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif,
kontestual, substantif dan aktif sosial. Paradigma keberagamaan
yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman lain yang
memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang pribadi yang mencinatai kebersamaan
adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama,
artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai
kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan
berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat manusia.
Untuk mengantisipasi
adanya diskriminasi maka seorang pendidik memiliki peran yang harus dikerjakan
dengan baik. Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam
sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru seharusnya mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya
dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu
menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru seharusnya
menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan
segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru mampu
memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya,
etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah
Ahmadiyah di NTB tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama
ditanamkan pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru , sekolah juga memegang peranan
penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa
saling pengertian sejak didi antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan berbeda
maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan
bimbingan guru -guru dalam sekolah
tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif
agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda; kedua,
hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan multikultural yaitu
kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah.
Pembelajaran Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti dalam merupakan salah satu materi pelajaran yang
diyakini dan diharapkan mampu melaksanakan pendidikan Multikultural dengan baik dan benar. Hal ini
sangat memungkin sekali karena di Yasayasan Perguru an Sultan Iskdandar Muda telah
dibuktikan bahwa dalam menunjang kelangsungan dan keberhasilan serta
ketercapaian Pendidikan Agama yang maksimal telah difasilitasi dengan baik dan
disediakannya tempat belajar serta beribadah yang sangat baik dan nyaman seperti
Mesjid, Gereja, Vihara dan Pura atau juga disebut kuil. Jadi hal ini juga
merupakan modal besar bagi para guru agama untuk menjalan tugasnya sebagi pedidik
dan melaksanakan proses pembelajaran multikultural.
Pelaksanaan
Pendidikan Multikukltural Dalam Pendidikan Agama Mengadakan Kelas Kebersamaan.
Pendidikan agama dan
budi pekerti dalam pendidikan multikultural dapat diaplikasikan dengan cara
mengadakan kelas kebersamaan, dimana semua guru agama yaitu guru agama islam, kristen, budha dan hindu masuk
dalam satu kelas dan mengajar bersama-sama tentunya dalam materi yang umum yang
tentunya semua agama mengajarkannya. Semua perserta dari masing-masing agama
akan duduk dalam satu kelas kebersamaan tanpa memandang latar belakang agama,
suku, ras dan yang ada dalam kelas tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
tidak semudah yang dibayangkan. Tantangan yang dialami ketika melakukan
pembelajaran adalah adanya sikap acuh tak acuh dari siswa yang berbeda agama
ketika yang menyampaikan materi adalah guru agama yang beda dengan agamanya. Hal ini juga
mengakibatkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang terkadang melewati bats materi
yang ditentukan untuk disampaiakn. Tantangan yang selanjutnya adalah ketika
sang guru agama menyampaikan materi yang
bersifat umum semua perserta didik masih merasa nyaman untuk memperhatikan akan
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang menyampaikan materi dengan
istilah-istilah dari masing-masing agama maka akan mengurangi perhatian
perserta didik untuk memperhatikan.
Materi dalam
mata pelajaran pendidikan agama ini diambil dari materi yang berthemakan “Kasih”.
Kasih dipandang sesuai dengan konsep pembelajaran Multikultural dari semua
agama, karena kasih merupakan salah satu materi yang diajarkan dari setiap
agama yang diaplikasikan dengan berbuat baik. Ada beberapa materi yang relevan
namum materi ini dianggap cukup merepresentasikan materi-materi yang lain.
Materi ini juga dipandang Realitas dari
pluralisme Masyarakat Indonesia yang majemuk
yang sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing
agama yaitu mengajarkan cinta kasih yang walupun dengan istilah dan dasar kitab
yang berbeda dari masing-masing agama, namun dapat dipastikan akan bermuara ke
satu titik yaitu membawa setiap umat yang dalam hal ini ialah perseta didik
untuk hidup dalam kebaikan dan menunjukkan perbuatan baik dalam hidupnya
sehari-hari.
Mengadakan kelas kebersamaan
merupakan hal yang menarik untuk dikerjakan, apabila disekolah tersebut
terdapat beberapa guru agama yang berbeda maka kelas kebersamaan merupakan
pilihan yang tepat untuk dikerjakan dalam memupuk rasa anti diskriminatif, akan
tetapi jika sekolah tersebut tidak memiliki beberapa guru agama yang berbeda
maka hal ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam menumbuh kembangkan rasa
anti diskrimintaif. Pengalaman penulis mengadakan kelas kebersamaan bersama
dengan sahabat guru agama seperti Bapak Agus Rizal, SH.I, M.Pd.I yang merupakan
guru agama Islam, Bapak Berlim M.Pd sebagai guru Agama Budha dan Bapak I Wayan
Sura, S Ag sebagai guru Agama Hindu. Dalam Kelas kebersamaan tersebut setiap guru
agama secara bergantian memberikan materi berupa motivasi.
Bapak I Wayan Sura, S Ag sebagai Guru
Agama Hindu menyatakan bahwa Ajaran cinta kasih dalam Agama Hindu dapat kita jumpai
dalam Catur Paramita dan Tri Parartha. Catur Paramita terdiri dari dua kata
yaitu Catur Dan Paramita, catur berarti empat dan Paramita berarti budi /akhlak
yang mulia /luhur. Jadi Catur Paramita berarti ; empat akhlak mulia/empat budi
luhur. Sedangkan Tri Parartha terdiri dari kata Tri dan Parartha, tri artinya tiga dan Parartha artinya kebahagiaan, jadi
Tri Parartha artinya : tiga kebajikan yang dapat membahagiakan makhluk lain.
Bagian bagian Catur Paramita terdiri
dari :1. Maitri, 2. Karuna, 3.Mudita dan 4.upeksa. Tri Parartha terdiri dari : 1.Asih, 2.Punya dan
3.Bakti. Dalam hal ini guru agama hindu akan menyampaikan kasih menurut
ajaran agama hindu akan tetapi sekaligus juga menyampaikan bahwa ajaran kasih
juga diajarkan oleh agama yang lain
Penjelasan Bapak Agus Rizal, SH.I, M.Pd.I sebagai Guru Agama Islam menyatakan bahwa ajaran RAHMAT (Kasih Sayang) dapat dilihat dalam tulisan beriku :
Engkau diutus untuk mneber
Rahmat bagi seluruh alam (Al Anbiya’:108). Tidak sempurna keimanan salah seorang kamu sehingga
dia menyayangi saudaranya seperti menyayangi dirinya sendiri (Al Hadits).
Orang yang saling menyayangi
itu akan dikasihi Sang Pengasih (Ar Rahman), Kasihilah apasaja yang ada di bumi
maka DIA akan menyayangi kamu (Al Hadita) dalam hal ini guru agama islam akan menekankan bahwa bertanggung
jawab mengasihi siapa saja yang ada di bumi ini tanpa memandang perbedaan yang
ada seperti agama, suku, bahasa, ras dll. Bahkan dalam hal ini rasa sayang
tidak hanya ditunjukkan bagi umat manusia saja akan tetapi bagi alam dan
lingkungan sekitar juga tetap disayangi dengan cara menjaga serta merawat
(melestarikan) lingkungan.
Penjelasana Bapak Berlim M.Pd sebagai Guru Agama Budha mengajarkan Metta (Cinta Kasih) yangdinayakan dalam Mettañ ca sabba-lokasmim
mānasam bhāvaye aparimānam,
Uddham adho ca tiriyañ ca
asambādham averam asapattam.
(Karaniya Metta Sutta:8). Yang berarti
Kasih sayangnya kepada
segenap alam semesta. Dipancarkannya melalui pikiran tanpa batas
Ke atas,
ke bawah dan ke sekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci
dan permusuhan . Dalam hal ini guru agama budha akan menekankan bahwa rasa kasih
sayang harus dinyatakan tanpa melihat status sosial yang berarti rasa kasih
sayang yang dimiliki serta yang ditunjukkan dengan perbuatan baik maka akan
menghilanglan diskriminasi sosial yang ada, sehingga dengan demikian semua akan
mahluk akan berbahagia.
Penjelasan Guru Agama Kristen yakni
penulis sendiri mengajarkan AGAPHE (agaphe) yaitu KASIH
tanpa Syarat) yang terutils
dalam Matius 22:37 -39 yang
bunyinya Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum
yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Dalam hal ini guru agam kristen akan menekankan bahwa hidup dalam
kasih merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan dengan sepenuh hati karena
hal ini merupakan perintah Tuhan. Rasa kasih yang juga merupakan inti ajaran
dalam umat kristiani harus benar-benar diaplikasikan dalam hidup manusia tanpa
membedakan siapapun orangnya dan latar belakang kehidupannya. Dalam hal ini guru
agam kristen akan menekankan bahwa kasih
tidak membedakan gender dimana baik pria dan wanita sama di hadapan Tuhan dan
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan kasih kepada
setiap orang. Pembelajaran ini diakhiri dengan cara semua guru agama yaitu agama hindu, islam, bidha dan
kristen berdiri di depan kelas dan mengucapakan satu salam kebersamaan yaitu
SALAM KERUKUNAN dan peserta didik menjawab SALAM.
Guru agama dan
budi pekerti merupakan salah satu guru yang memungkin sekali untuk melaksanakan
pembelajaran multikultural bagi peserta didik. Hal ini dapat dilakukan oleh
setiap guru agama yang ada disekolah,
tentunya dimulai dengan adanya kesepakatan dari setiap guru agama untuk saling bersinergi dalam mendidik
peserta didik untuk berbuat baik dalam kehidupannya. Salah satu kerja sama yang
saling bersinergi antar guru-guru agama
adalah dengan mengadakan kelas kebersamaan. Jika disekolah-sekolah tertentu
tidak memiliki beberapa guru agama yang berbeda oleh kerena sekolah tersebut
merupakan sekolah agama seperti Seminary (Sekolah Katolik) dan pesanteran
(sekolah khusus Agama Islam) maka hal yang dapat dilakukan adalah mengadakan
visitasi terhadap sekolah yang berbeda sehingga menghasilkan pengalaman yang
baru dan memungkinkan menghilangkan steriotip yang salah terhadap sesama yang
berbeda dengan kita, dan perlu dipastikan bahwa buah seseorang belajar agama
ditunjukkan adanya suatu sikap atau perilaku baik terhadap semua orang
sekalipun orang-orang tersebut berbeda dengan kita. Karena muara dan titik temu
semua agama adalah perbuatan baik.
Dalam pembelajaran Agama, di YP Sultan Iskandar Muda yang
terdiri dari 4 Guru agama yaitu Guru Agama Islam, Guru Agama Kristen, Guru Agama Budha dan Guru Agama Hindhu. Kerap diadakan pembelajaran
bersama tentunya materi pembelajaran umum yang mengarahakan anak didik
berperilaku baik dan benar-benar siap dalam menapaki masa depan. Dalam hal ini
setiap Guru Agama secara bergiliran
memberikan ceramah berupa pencerahan, dari pengalaman ketika melakukannya, para
peserta didik sangat tertarik karena akan menerima pencerahan dari Guru Agama yang berbeda namun mengarah kepada
kebaikan.
Membangun Kebersamaan dalam
Keberagaman.
Ketika hal diatas dilaksanakan dengan baik sebagai salah
satu upaya menumbuh rasa kebersamaan ditengah keberagaman maka penulis
mengasumsikan bahwa rasa kebersamaan akan tercipta dengan baik secara harmonis seperti
yang diharapakn oleh semua pihak. Melalui pendidikan agama kita sebagai sesama
ciptaan yang maha kuasa haras menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa lah yang
menciptkan kepelbagaian atau keberagaman suku, bangsa, ras, budaya, geografis,
agama, adat istiadat serta kebiasaan. Keberagaman itu tentu mempengaruhi cara
pandang seseorang terhadap kehidupan dengan sesamanya di lingkungan dimana ia
teinggal. Namun demikian, harkat dan martabat semua manusia dihadapan Tuhan
yang Maha Kuasa adalah sama dan sederajat. Oleh karena itu, setiap orang
terpanggil untuk menerima dan menghargai berbagai perbedaan yang ada secara
kritis dan masuk akal (rasional). Dalam bersikap terhadap keberagaman, acuannya
adalah Ajaran Kasih dan kebaikan dimana semua ajaran agama mengajarkan hal
Tesbut dan diharapkan oleh setiap insan manusia yang merindukan suasana yang
harmonis dan juga menciptakan pribadi humanis tentunya yang dapat dibangun
dengan mengadakan pertemanan dan persahabatan tanpa memandang berbagai
perbedaan yang berisikan rasa simpati dan empati terhadap sesama manusia yang
meruakan saudara dalam hidup dimana ia tinggal bersama.
Ketika sesama manusia tempail menjadi pribadi yang mencintai
kebersamaan tanpa melihat perbedaan ditengah keberagaman maka kita telah tampil
sebagai warga negara indonesia yang sejati dengan “Bhineka Tungga Ika” nya.
Karena Hidup bersama dan berbagi dengan orang lain telah lama menjadi pola
hidup bangsa indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berkunjung kepada
teman-teman yang berbeda keyakinan. Di hari raya Idul Fitri, orang-orang yang
beragama Islam dan beragama Kristen, Hindu dan Budha mengunjungi dan
mengucapkan selamat kepada teman-teman yang beragama islam dan sebaliknya di
hari Natal, Depavali dan Imlek yang merupakan hari raya dari masing-masing
agama Kristen, Hindu dan Budha, orang-orang yang bergama islam boleh berkunjung
dan mengucapkan selamat. Salah satu kuncinya adalah adanya keberanian untuk
mendengarkan dan meneriam orang lain sebagai saudara dalam keluarga besar
Indoensia. Kebergamaman agama yang dianggap sebagai hal yang sentimen dalam
permasalah multikultural tidak dapat dipungkuri. Namun hal tersebut jangan
dijadikan alasan untuk menjauhkan dirinya dari pergaulan sosial malah
sebaliknya ekistensi agama yang diajaran baik dari para pendidika agama seharusnya
memampukan setiap pribadi menjadi pribadi yang humnais yang bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan
Repulik Indonesia (2015). Pendidikan
Agama Kristen dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudyaan.
Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan
Repulik Indonesia (2015). Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.
Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan
Repulik Indonesia (2015). Pendidikan
Agama Budha dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.
Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan
Repulik Indonesia (2015). Pendidikan
Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar
Muda (2015). Merawat Keberagaman. Praksis
Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda.
Pendidikan Agama Kristen oleh Dosen Agama Kristen
Trisakti Penerbit Universitas Trisakti Jakarta 2000.
PAK dalam Masyarakat Majemuk oleh
Dosen STT Bethel Medan 2016.
Kompilasi peraturan perundang-undangan kerukunan
hidup umat beragama edisi kelima, Jakarta Balitbanng Agama proyek peningkatan
kerukunan hidup umat beragama 1996/1997.