Minggu, 12 Oktober 2025

Menjadi Dewasa dalam Segala Aspek

 

Rangkuman Materi Kelas X Pendidikan Agama Kristen

Bab 1: Menjadi Dewasa dalam Segala Aspek

(Berdasarkan Lukas 2:52)

Tujuan Pembelajaran

  1. Menjelaskan arti dewasa dalam keenam aspek perkembangan.
  2. Memahami pentingnya menjadi dewasa dalam tiap aspek perkembangan.
  3. Menganalisis pertumbuhan diri dalam tiap aspek perkembangan.
  4. Mengkritisi perilaku yang tidak mencerminkan kedewasaan.
  5. Memiliki rencana untuk bertumbuh menjadi semakin dewasa.

Capaian Pembelajaran

Menganalisis pertumbuhan diri sebagai pribadi dewasa melalui cara berpikir, berkata, dan bertindak.

Kata Kunci

aspek fisik, aspek intelektual, aspek emosi, aspek sosial, aspek ro- hani, aspek identitas

 

Pendahuluan

Setiap kali seseorang merayakan ulang tahun, hal itu bukan sekadar penanda bertambahnya usia, tetapi juga menjadi momen refleksi untuk menilai sejauh mana ia telah bertumbuh secara utuh sebagai pribadi. Kedewasaan tidak semata-mata diukur dari angka usia, melainkan dari perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam Lukas 2:52, Alkitab menggambarkan pertumbuhan Yesus yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Ayat ini menunjukkan bahwa Yesus bertumbuh secara seimbang—baik secara fisik, intelektual, emosional, sosial, spiritual, maupun identitas diri.

Sebagai peserta didik Kristen, panggilan untuk menjadi dewasa dalam segala aspek adalah bagian dari perjalanan iman dan tanggung jawab pribadi. Kedewasaan bukanlah hasil instan, melainkan proses pembelajaran yang terus-menerus dengan bimbingan Allah.

Pembahasan Materi

1. Dewasa secara Fisik

Kedewasaan fisik ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang sehat dan seimbang. Hal ini tercapai melalui pola makan bergizi, olahraga teratur, dan istirahat cukup. Seorang yang dewasa secara fisik mampu menjaga tubuhnya sebagai bait Roh Kudus dan mengarahkan dorongan fisiknya ke arah yang positif serta bertanggung jawab. Pola hidup sehat menunjukkan disiplin dan kesadaran diri sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah atas tubuh yang dikaruniakan.

2. Dewasa secara Intelektual

Kedewasaan intelektual tercermin dari kemampuan berpikir logis, kritis, dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Proses belajar dan pendidikan membantu seseorang mengembangkan daya pikir yang mandiri serta kemampuan memecahkan masalah dengan kreatif. Seorang Kristen yang dewasa secara intelektual tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu, melainkan mampu menimbang segala sesuatu berdasarkan kebenaran dan nilai iman Kristen.

3. Dewasa secara Emosional

Kedewasaan emosional tampak dalam kemampuan mengelola perasaan—baik suka maupun duka—secara tepat. Orang yang dewasa secara emosional tidak mudah meledak dalam kemarahan, tidak larut dalam kesedihan, dan tidak dikuasai oleh rasa takut. Ia mampu mengekspresikan emosinya dengan bijak serta memiliki empati terhadap orang lain. Kedewasaan emosional ditumbuhkan melalui pengalaman dikasihi, diterima, dan dihargai, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial.

4. Dewasa secara Sosial

Kedewasaan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi dengan orang lain secara sehat dan saling menghargai. Seseorang yang dewasa secara sosial tidak memanfaatkan orang lain untuk keuntungan pribadi, melainkan berperan aktif dalam membangun relasi yang harmonis. Ia mau berkontribusi secara positif bagi lingkungannya, bekerja sama dalam kebaikan, dan menghormati perbedaan. Dalam konteks masyarakat majemuk, kedewasaan sosial menuntut sikap toleran, empatik, dan berjiwa pelayanan.

5. Dewasa secara Moral dan Spiritual

Kedewasaan moral dan spiritual berarti hidup dengan standar nilai yang benar dan menjalin hubungan yang erat dengan Tuhan. Orang yang dewasa secara rohani mengakui ketergantungannya pada Allah, setia berdoa, membaca firman, dan berbuat kasih terhadap sesama. Ia memiliki idealisme untuk menjadi berkat bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan. Kedewasaan spiritual bertumbuh dari relasi yang mendalam dengan Kristus sebagai sumber hikmat dan kekuatan hidup.

6. Dewasa dalam Identitas Diri

Kedewasaan dalam identitas diri ditandai dengan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan pribadi. Orang yang dewasa mengenali dirinya sebagaimana adanya, tidak menutupi kelemahannya, dan tidak pula sombong atas kelebihannya. Ia bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan hidupnya tanpa menyalahkan orang lain. Kesadaran diri ini menuntun seseorang untuk memiliki integritas dan konsistensi dalam berpikir, berkata, dan bertindak.

Pesan Alkitab tentang Kedewasaan

Kisah Yesus di Bait Allah (Lukas 2:42–52) memberikan contoh nyata tentang proses menjadi dewasa. Pada usia dua belas tahun, Yesus sudah menunjukkan kedewasaan berpikir dan spiritualitas yang matang. Ia memahami panggilan hidup-Nya dan menyiapkan diri untuk pelayanan. Proses panjang dari usia 12 hingga 30 tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan kedewasaan memerlukan waktu, komitmen, dan kesetiaan kepada Allah.
Sebagaimana Yesus “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia,” demikian pula setiap orang percaya dipanggil untuk bertumbuh secara seimbang dalam seluruh aspek kehidupannya.

Refleksi bagi Peserta Didik

Menjadi dewasa berarti berani menilai diri sendiri secara jujur dan membuat langkah nyata untuk memperbaiki kekurangan. Setiap siswa diajak untuk merenungkan:

  • Apakah saya sudah menggunakan tubuh saya dengan bijak?
  • Apakah cara berpikir saya mencerminkan hikmat Tuhan?
  • Apakah saya mampu mengendalikan emosi dan menghargai orang lain?
  • Apakah saya sudah hidup dalam relasi yang baik dengan Tuhan dan sesama?

Pertumbuhan ini adalah perjalanan seumur hidup bersama Allah.

Rangkuman

Bertumbuh menjadi dewasa bukan hanya soal bertambah usia, tetapi tentang bertambah dalam hikmat, kasih, dan tanggung jawab. Teladan Yesus menunjukkan keseimbangan dalam enam aspek perkembangan manusia: fisik, intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan identitas diri. Kedewasaan sejati diperoleh melalui relasi yang erat dengan Allah, disiplin diri, dan kepedulian terhadap sesama. Sebagai pengikut Kristus, setiap siswa dipanggil untuk bertumbuh menjadi pribadi yang utuh dan memuliakan Tuhan dalam segala aspek kehidupannya.

Asesmen

Ranah

Bentuk Penilaian

Indikator Penilaian

Contoh Instrumen

Kognitif (Pengetahuan)

Tes tertulis atau refleksi tertulis singkat

Siswa mampu menjelaskan enam aspek kedewasaan dan menafsirkan makna Lukas 2:52 dengan benar.

“Jelaskan bagaimana Yesus menjadi teladan dalam bertumbuh dewasa menurut Lukas 2:52.”

Afektif (Sikap)

Observasi & jurnal refleksi

Siswa menunjukkan sikap bertanggung jawab, menghargai teman, dan bersikap terbuka terhadap pembelajaran diri.

Guru menilai sikap empati, kerjasama, dan kesediaan menerima koreksi dalam aktivitas kelas.

Psikomotorik (Keterampilan)

Penugasan atau proyek reflektif

Siswa mampu menyusun rencana pribadi pertumbuhan kedewasaan dalam keenam aspek secara konkret.

“Buatlah rencana pribadi (Personal Growth Plan) tentang bagaimana kamu akan bertumbuh secara fisik, emosional, sosial, dan spiritual dalam semester ini.”

 

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud.

 

Transformasi Hidup dalam Kristus: Fondasi Teologis dan Implikasi Pedagogis bagi Pendidikan Agama Kristen yang Multikultural

 

Transformasi Hidup dalam Kristus:  Fondasi Teologis dan Implikasi Pedagogis bagi Pendidikan Agama Kristen yang Multikultural, 

Oleh Ebenezer Parulian Dabukke

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis makna hidup baru dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) berdasarkan Yohanes 3:3–6 dan 2 Korintus 5:17 serta menelaah implikasinya terhadap pembelajaran transformatif dan pengembangan nilai-nilai multikultural di sekolah. Dengan pendekatan teologis-deskriptif, kajian ini menyoroti bahwa hidup baru bukan sekadar perubahan moral, tetapi transformasi spiritual yang menyentuh seluruh eksistensi manusia. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemahaman akan hidup baru menuntun peserta didik untuk mengalami pembaruan rohani, membangun tanggung jawab sosial, dan mengembangkan sikap toleransi di tengah masyarakat majemuk.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Kristen, transformasi rohani, hidup baru, multikulturalisme, pembelajaran transformatif

Pendahuluan

Pendidikan Agama Kristen (PAK) memiliki mandat utama untuk menuntun peserta didik kepada pengalaman iman yang otentik dan transformatif, bukan sekadar pemahaman kognitif atas doktrin. Dalam kerangka ini, tema hidup baru menempati posisi fundamental karena berbicara tentang kelahiran kembali dan pembaruan eksistensi manusia oleh karya Roh Kudus.

Dalam Yohanes 3:3–6, Yesus menegaskan bahwa hanya mereka yang “dilahirkan kembali” yang dapat melihat Kerajaan Allah. Sementara itu, 2 Korintus 5:17 menyatakan bahwa “siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru.” Kedua teks tersebut menegaskan bahwa hidup baru merupakan karya ilahi yang mentransformasi manusia dari kematian rohani menuju kehidupan yang diperbarui dalam Kristus.

Di tengah arus pendidikan modern yang menekankan aspek rasional dan akademik, konsep hidup baru menghadirkan perspektif spiritual yang menyentuh dimensi terdalam manusia. PAK yang menginternalisasikan nilai-nilai hidup baru tidak hanya memperkaya pemahaman iman, tetapi juga membangun kesadaran multikultural peserta didik di tengah realitas keberagaman bangsa Indonesia. Dengan demikian, hidup baru bukan sekadar dogma teologis, melainkan prinsip pendidikan yang membentuk keutuhan pribadi dan karakter Kristiani.

Metode Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan teologis-deskriptif untuk memahami konsep hidup baru secara alkitabiah dan mengaitkannya dengan praktik pedagogis PAK di sekolah. Sumber data utama mencakup teks-teks Alkitab (Yohanes 3:3–6; 2 Korintus 5:17), literatur teologi sistematika, dan buku Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas X (Kemendikbud, 2021).

Langkah-langkah analisis dilakukan melalui:

1.     Eksposisi biblika, untuk menafsirkan makna kelahiran baru dalam konteks ajaran Yesus dan Paulus.

2.     Analisis teologis, guna menafsirkan konsep hidup baru sebagai karya Roh Kudus yang mentransformasi manusia.

3.     Sintesis pedagogis, yaitu mengkaji implikasi hidup baru dalam konteks pembelajaran transformatif dan pembentukan nilai-nilai multikultural.

Pendekatan ini menekankan pemahaman reflektif dan aplikatif, sehingga hasilnya bukan berupa generalisasi empiris, melainkan pemaknaan teologis yang relevan dengan praksis pendidikan Kristen di Indonesia.

Hasil Kajian

Kajian terhadap teks Alkitab menunjukkan bahwa hidup baru mencakup dua dimensi utama: pembaruan spiritual dan transformasi etis. Dalam Yohanes 3:5, Yesus menegaskan bahwa kelahiran dari air dan Roh adalah syarat mutlak bagi kehidupan kekal. Hal ini menunjukkan bahwa hidup baru merupakan karya Roh Kudus yang memberikan kehidupan rohani kepada manusia yang telah mati karena dosa.

Sementara itu, 2 Korintus 5:17 menegaskan bahwa hidup baru membawa perubahan identitas dan orientasi hidup. “Yang lama sudah berlalu” menandai pemutusan relasi dengan dosa, sedangkan “yang baru sudah datang” menunjukkan keterikatan pada kehendak Allah. Hidup baru tidak hanya mengubah status rohani seseorang, tetapi juga mempengaruhi pola pikir, perilaku, dan relasi sosialnya.

Dalam konteks pembelajaran PAK, hasil kajian ini menegaskan bahwa konsep hidup baru dapat diterjemahkan ke dalam strategi pembelajaran yang menekankan pembentukan karakter siswa agar hidup selaras dengan nilai-nilai Kristiani. Indikator konkret dari hidup baru dapat terlihat melalui pertumbuhan kasih, kejujuran, penguasaan diri, dan kesediaan untuk mengasihi sesama tanpa memandang perbedaan latar belakang. Dengan demikian, hidup baru menjadi dasar teologis bagi pendidikan karakter yang bersifat holistik dan berorientasi pada transformasi diri.

Pembahasan

Temuan ini menunjukkan bahwa hidup baru dalam Kristus bukan sekadar simbol atau pengalaman emosional, melainkan transformasi menyeluruh yang mengubah cara seseorang memandang Allah, diri sendiri, dan sesamanya. Dalam teologi Paulus, manusia baru hidup di bawah pimpinan Roh Kudus dan menampilkan buah-buah Roh (Galatia 5:22–23) sebagai wujud nyata dari kelahiran baru.

Dalam konteks pendidikan, hal ini menuntut hadirnya pembelajaran transformatif dalam PAK. Pembelajaran transformatif tidak berhenti pada transfer pengetahuan, melainkan mengarahkan siswa pada refleksi iman, pertumbuhan moral, dan pembentukan karakter sosial. Guru PAK berperan sebagai fasilitator spiritual yang menolong peserta didik mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus melalui proses pembelajaran reflektif, dialogis, dan aplikatif.

Lebih jauh, hidup baru harus diintegrasikan dengan nilai-nilai multikultural yang relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Hidup baru memupuk toleransiempatikerendahan hati, dan cinta damai sebagai ekspresi kasih Allah dalam kehidupan bersama. Peserta didik yang mengalami transformasi hidup dalam Kristus akan menunjukkan sikap terbuka terhadap perbedaan agama, suku, dan budaya, serta berpartisipasi aktif dalam membangun harmoni sosial. Dengan demikian, konsep hidup baru memiliki relevansi sosial yang kuat dalam membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan penuh kasih.

Kesimpulan

Makna hidup baru dalam Pendidikan Agama Kristen merupakan konsep yang mencakup pembaruan rohani, moral, dan sosial yang berakar pada karya Roh Kudus. Pembelajaran PAK yang menekankan konsep ini mampu membentuk peserta didik yang beriman teguh, berkarakter Kristiani, dan siap hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat majemuk.

Integrasi antara ajaran hidup baru dengan nilai-nilai multikultural menjadikan PAK sebagai wahana pembentukan karakter yang utuh: spiritual, etis, dan sosial. Dengan demikian, pembelajaran tentang hidup baru tidak hanya memperkuat iman kepada Kristus, tetapi juga menumbuhkan sikap toleran, empatik, dan bertanggung jawab sebagai warga bangsa dan warga Kerajaan Allah.

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud.

Mareta, A., & Kurniawan, M. M. (2024). Kelahiran Baru dan Kedewasaan Rohani dalam Pandangan Pendidikan Agama Kristen: Ditinjau dari 1 Yohanes 3:9 dan 1 Timotius 4:12–14. Jurnal Silih Asah, 1(2). https://journal.sttkb.ac.id/index.php/SilihAsah/article/view/58

Christiasari, C. (2022). Pembentukan Perilaku Hidup tentang Penguasaan Diri melalui Ibadah Tengah Minggu. Haggadah: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, 3(1). https://sttmwc.ac.id/e-journal/index.php/haggadah/article/download/46/38

Manurung, W. T. R. (2024). Manifestasi Karakter Allah melalui Buah Roh dalam Kehidupan Orang Percaya. Ekklesia: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristenhttps://ojs.sttekklesiaptk.ac.id/index.php/ekklesia/article/view/67

Tamera, D. (2023). Galatia 5:22–23 dan Transformasi Diri bagi Generasi Muda Kristen. Conscientia: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristenhttps://ojs.theologi.id/index.php/conscientia/article/view/31

 

 


Minggu, 12 November 2017

Reorientasi Pendidikan Agama dalam Pendidikan Multikultural Guna Menciptakan Pribadi Yang Antidiskriminasi



Pada awal tahun 2017 tepat pada bulan januari lalu, SMA Sultan Iskandar Muda mengadakan suatu kegiatan yang bernama “Resolusi 2017 Era Baru Semangat Baru”. Kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi siswa sehingga semakin semangat mengikuti kegiatan pembelajaran disekolah. Dalam kegiatan tersebut siswa dibagi dalam beberapa kelompok, salah satu nama kelompok yang terbentuk dan sangat menyita perhatian penulis yaitu kelompok “KOMUNIS”. Melihat adanya nama kelompok ini penulis yang juga bertugas sebagai pembimbing langsung mencari tahu apa maksud dan tujuan munculnya nama kelompok tersebut. Ternyata setelah diselidiki nama kelompok “KOMUNIS” ternyata hanyalah sebuah akronim dari Komunitas Multi Etnis dimana setiap anggota kelompoknya terdiri dari suku, agama yang berbeda dan mereka sangat kompak dan mampu bekerja sama dengn baik ketika mengikuti kegiatan tersebut.
Munculnya kelompok KOMUNIS dalam kegiatan tersebut merupakan salah satu nama-nama unik yang diciptakan oleh siswa SMA Sultan Iskandar Muda yang meceritakan tentang keberagaman dan tetap dalam kebersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa sebahagian  besar dari siswa-siswi tersebut telah memiliki rasa persaudaraan dan cita sesama, walaupun harus diakuai bahwa hal ini masih  dalam proses dan perlu dikembangkan lebih lagi sehingga makin dewasa dan menjadi modal yang sangat kuta untuk hidup bersama-sama ditengah masyarakat sekitar yang sangat multikultural dan pluralis. Menjadi pribadi yang humanis bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Untuk mencapainya, secara personal seseorang harus mampu menyeimbangkan hubungan yang baik kepada pencipta-Nya dan juga kepada sesama manusia yang merupakan ciptaan yang maha kuasa . Jika setiap manusia menyadari akan hal ini, maka suasana harmonis yang merupakan dambaan setiap orang akan mudah diraih dan dirasakan besarma. Akan tetapi perlu disadari bahwa suasana harmonis ditengah keberagaman atau bahkan disebutkan beberapa orang dengan perbedaan merupakan hal yang harus diupayakan secara optimal dan serius oleh semua pihak dan kalangan, baik pemerintah maupun pihak swasta, elompok (komunitas) atau pribadi (personal).
Pada Tahun 2010 pada saat pemilihan walikota medan, penulis membaca tulisan dari kompasiana menyatakan bahwa pak Sofyan Tan, Si “Walikota Rakyat” Medan merupakan sosok walikota yang diyakini mampu memimpin dan memenangkan pilkada. Namun kenyataan yang ada harapan tersebut belum terwujud. Diyakini pelaksanaan pilkada tersebut sarat dengan kecurangan. Namun hal menarik dan perlu dikemukakan adalah adanya pengalaman penulis yang pernah melihat satu spanduk dijalan A.R. Hakim, Medan yang menyatakan satu statment yakni “Jangan Memilih Penyembah Api” dan menurut kesaksian salah satu Guru yang juga merupakan teman penulis yang mengajar di SMA Sultan Iskandar Muda, juga pernah melihat satu Spanduk Yang bertuliskan “Jangan Memilih Pemimpin Yang Bukan Satu Agamamu”. Pada awalnya penulis melihat hal itu merupakan hal yang dapat dimaklumi dalam situasi kampanye pilkada, namun ketika penulis mencoba memikirkan hal tersebut sebagai seseorang yang menyandang predikat Guru Agama dalam hal ini Guru Agama Kristen. Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri bagi diri penulis sebagai pendidik agama oleh karena kata-kata dalam spanduk diatas merupakan kata-kata yang tidak mendidik umat dan bahkan meprovokasi sehingga memandang seseorang secara subyektif saja ketika memilih pemimpin dan bukan kompetensi yang dimiliki, karena pada kenyataannya dr. Sofyan Tan tetap dipercaya oleh masyarakat kota medan dan bahkan sebaghain besar masyarakat Sumatra Utara khusunya Daerah Pemilihan I (Dapil I) yakni Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi dan Serdang Bedagai memilih dan mempercayakan beliau sebagai utusan rakyat di parlemen sebagai Anggaota Legislatif dari PDI Perjuangan yang kini duduk di Komisi X DPR Republik Indonesia yang berurusan dengan dunia pendidikan.
Kejadian atau peristiwa yang mungkian hampir serupa juga terjadi pada saat pemilihan pemimpin yaitu pilkada Cagub dan Wagub di Jakarta yang sarat dengan perdebatan masalah agama dan etnis. Memang banyak faktor yang memungkin masalah agama dan etnis menjadi perbinacangan hangat dalam pesta rakyat tersebut. Namun yang ingin penulis kemukakan adalah  isu religi / keagamaan masih tetap menjadi trend seter. Menurut penulis hal perlu diperhatikan dengan baik, tidak dapat dipungkuri bahwa dalam dunia politik selalu saja ada masalah-masalah yang muncul, namun jangan sampai menghalalkan segala cara apalagi menggunakan issu agama/religi yang sebanarnya sakral dan bertujuan untuk menciptkan manusia yanng berperilaku baik dan benar serta memiliki rasa kebersamaan dan persaudaraa yang baik dan benar.Dalam hal ini tugas pendidik termasuk pendidik Pendidikan Agama untuk menaikkan kesadaran yang serius untuk mencapai “pendidikan multikulturalisme dan pluralisme.” Agar memahami secara proporsional, mau tidak mau Pendidikan Agama harus memperluas wilayah kajiannya dengan  bekerja sama dengan pendidik lain termasuk pendidik guru agama lain seperti Guru agama Islam, Guru Agama Budha, Guru Agama Hindu dan Bahkan Guru Gama Kong Hu Chu jika memungkinkan..
Dalam kegiatan Resolusi diawal tahun yang lalu, ditampilkan beberapa cuplikan Vidio tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan keagaamaan, seperti: Pembakaran Gereja GKKPD (Gereja Kristen Pak-pak Dairi) di Singkil, Pengeboman Gereja Katolik di Jalan Dr. Mansyur di Medan, Pembakaran beberapa Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai, Penutupan Mesjid di Tolikara serta pemberian izin pendirian kuil bagi umat Hindu. Setelah menyaksikan beberapa vidio tersebut, penulis melihat ekspresi tidak senang dan tidak setuju dari apa yang tekag terjadi. Setelah menyaksikan vidio tersebut para peserta didik diminta menuliskan pendapat masing-masing dan setelah dikumpulkan dan memeriksa jawaban seluruh peserta didik dapat diambil kesimpulan bahwa keseluruhan dari merela tidak setuju dengan kejadian-kejadian tersebut dan tidak sedikit dari memeraka yang berharap kejadian tersebut tidak terjadi lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengharapakan semua warga negara hidup dalam perdamaian, kasih sayang dan sangat anti diskriminasi. Hal ini merupakan salah satu indikasi keberhasilan pelaksanaan Pembelajaran Multikultural dari sisi Pendidikan Agama. Perlu dipahami bahwa pada hakekatnya tidak ada agama yang tidak mengajarkan  kebaikan. Secara Khusus dalam pendidikan Agama fokusnya adalah kasih yang harus dinyatakan kepada semua orang tanpa memandang perbedaan yang ada sekalipun perbedaan tidak dapat dihindarkan antara satu dengan yang lain

Pemicu Sikap Antidiskriminasi
Melihat ekisistensi masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas, baik agama,suku, dan golongan, maka perlu dikaji ulang arah Pendidikan Agama dalam masyarakat majemuk. Diharapkan dengan pengajaran Pendidikan Agama dalam konteks masyarakat majemuk, peserta didik mampu hadir dan mempraktekkan imannya ditengah-tengah lingkungannya tanpa mengkompromikan dogma iman yang dimilikinya. Hal ini harus pahami dengan sikap yang benar oleh setiap manusia. Ada beberapa siskap yang harus dihindari dalam mewujudkan multikultural yang rukun dan bersatu serta antidiskriminasi, yaitu:
1.    Primordialisme
Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat yang multikultural seperi Indonesia. Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan mereka untuk menerima keberadaan suku bangsa yang lain.
2.    Etnosentrisme
Etnosentrime artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Indonesia dapat maju dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang muncul adalah diintegrasi sosial yang memnghasilkan dishumanisme. Apabila sikap dan pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan provinsialvisme yaitu paham atau gerekan yang bersifat kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarkat.
3.    Diskriminatif
Diskrimintaif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama watga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antisipasi terhadap sesama watga negara.
4.    Stereotip
Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki ciri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita benar-benar hingga membentuk sebuah kebencian.
            Secara teori beberapa paham atau sikap diatas diyakini sepenuhnya merupakan hal yang tidak baik dan harus dihindari. Namun dalam peristiwa-periswa atau kondisi tertentu apalagi hal itu merupakan peristiwa atau kondisi yang tidak diharapkan terjadi maka sikap-sikap tersebut akan munculnya secara sendirinya. Hal ini juga dapat dirasakan penulis ketika resolusi SMA diawal Tahun yang lalu, ketika para peserta didik diminta memberikan penilaian terhadap sesama dan mereka merupakan teman yang berbeda dengan dirinya, tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata tetap juga ditemukan jawaban-jawaban yang berkenaan dengan sikap-sikap diatas. Pertanyaan yang diberikan yaitu: Tuliskan pendapatmu jika mendengar suku Batak, Jawa, Padang, Tionghoa dan Tamil ! Maka jawaban peserta yang telah disimpulkan oleh para guru pembimbing menyatakan bahwa Suku batak itu kasar, suku jawa lembut tapi lamban, Suku padang Pelit, Suku Tionghoa Sipit dan Pelit dan Tamil itu hitam. Memang tidak semua jawaban yang negatif juga ditemukan jawaban yang positif dari peserta didik seperti Suku batak itu Tegas dan pintar menyanyi, suku jawa lembut dan manis, Suku padang pintar memasak, Suku Tionghoa rajin dan pekerja keras dan Tamil suka seni. Namun tetap saja penilaian yang negatif sebelumnya perlu ditindak lanjuti sehingga tidak merusak hubungan yang baik antara satu pribadi dengan yang lain.

Tanggung Jawab Pendidikan Agama
Sebagaimana diketahui bersama bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian , yaitu pendidikan nasional dan pendidikan agama. Pendidikan yang ada sekarang ini lebih fokus pada penggunaan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan. Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal (inteligensi). Jadi sangat sulit menemukan satu konsep pendidikan yang benar-benar menyeluruh (komprehensif) dan yang terintegrasi.
Pendidikan Agama merupakan salah satu materi pelajaran yang diyakini mampu menciptakan pribadi yang mencintai kebersamaan. Akan tetapi salah satu masalah yang kerap kali sangat sentimentil dan dijadikan alasan munculnya permasalah multikultural adalah tentang perbedaaan agama dan keyakinan. Pendidikan Agama yang dilaksanakan di sekolah  sangatlah penting artinya dalam menegakkan dan mewujudkan masyarakat yang damai sejahtera dan tentram. Dalam realita kehidupan masyarakat masih banyak persoalan yang muncul dengan berbagai konflik yang terjadi yang seringkali dikaitkan dengan masalah agama. Pendidikan Agama hadir dan dihadirkan di tengah masyarakat adalah untuk melaksanakan amanat agung sebagaimana dalam Firman Allah. Pendidikan Agama yang adalah bagian dari tujuan pendidikan nasional dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui peserta didik. Kehadiran Pendidikan Agama juga dapat menjadi alat pembentuk dan pemersatu bangsa di tengah masyarakat majemuk yang berbeda agama, suku, ras, golongan, dsb. Selain itu, kehadiran Pendidikan Agama dapat berperan serta untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Pendidikan Agama harus terus- menerus berkembang seiring dengan kemajuan zaman; memampukan manusia agar sadar terhadap iptek, kreatif, inovatif, serta memiliki solidaritas tinggi; peka terhadap konteks pendidikan nasional, pergumulan bangsa dan menjawab kebutuhan orang percaya.
            Pendidikan Agama disekolah haruslah bermuara kepada perubahan (transformasi) baik dalam pengetahuan (kognitif)  maupun dalam transformasi iman (spritual) yang juga akan menghasilkan transformasi sikap (afektif). Sebab salah satu tujuan pembelajaran agama di sekolah adalah untuk memampukan peserta didik hidup bersama dengan orang-orang lain disekitarnya yang memiliki keanekaragaman agama,suku,dan etnis. Apabila hal ini tidak dikerjakan dengan maksimal maka akan menimbulkan masalah-masalah yang tidak diharapakan. Salah satu hal munculnya permasalahan itu adalah adanya pemahaman yang berbeda tentang hakikat manusia. bergamnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin nyata secara teoritis dan juga secara praktek dalam kehidupan sehari-hari.  Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan. Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Bangsa Indonesia yang begitu multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas[1] beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi. Pelajaran agama diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial. Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang pribadi yang mencinatai kebersamaan adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat manusia.
Untuk mengantisipasi adanya diskriminasi maka seorang pendidik memiliki peran yang harus dikerjakan dengan baik. Peran guru  dalam hal ini meliputi;  pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru  yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di NTB tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru , sekolah juga memegang peranan penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa saling pengertian sejak didi antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan berbeda maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan bimbingan guru -guru  dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan diterapkan di sekolah.
Pembelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dalam merupakan salah satu materi pelajaran yang diyakini dan diharapkan mampu melaksanakan pendidikan  Multikultural dengan baik dan benar. Hal ini sangat memungkin sekali karena di Yasayasan Perguru an Sultan Iskdandar Muda telah dibuktikan bahwa dalam menunjang kelangsungan dan keberhasilan serta ketercapaian Pendidikan Agama yang maksimal telah difasilitasi dengan baik dan disediakannya tempat belajar serta beribadah yang sangat baik dan nyaman seperti Mesjid, Gereja, Vihara dan Pura atau juga disebut kuil. Jadi hal ini juga merupakan modal besar bagi para guru  agama untuk menjalan tugasnya sebagi pedidik dan melaksanakan proses pembelajaran multikultural.
           
Pelaksanaan Pendidikan Multikukltural Dalam Pendidikan Agama Mengadakan Kelas Kebersamaan.

Pendidikan agama dan budi pekerti dalam pendidikan  multikultural dapat diaplikasikan dengan cara mengadakan kelas kebersamaan, dimana semua guru  agama yaitu guru  agama islam, kristen, budha dan hindu masuk dalam satu kelas dan mengajar bersama-sama tentunya dalam materi yang umum yang tentunya semua agama mengajarkannya. Semua perserta dari masing-masing agama akan duduk dalam satu kelas kebersamaan tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras dan yang ada dalam kelas tersebut. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Tantangan yang dialami ketika melakukan pembelajaran adalah adanya sikap acuh tak acuh dari siswa yang berbeda agama ketika yang menyampaikan materi adalah guru  agama yang beda dengan agamanya. Hal ini juga mengakibatkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang terkadang melewati bats materi yang ditentukan untuk disampaiakn. Tantangan yang selanjutnya adalah ketika sang guru  agama menyampaikan materi yang bersifat umum semua perserta didik masih merasa nyaman untuk memperhatikan akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang menyampaikan materi dengan istilah-istilah dari masing-masing agama maka akan mengurangi perhatian perserta didik untuk memperhatikan.
            Materi dalam mata pelajaran pendidikan agama ini diambil dari materi yang berthemakan “Kasih”. Kasih dipandang sesuai dengan konsep pembelajaran Multikultural dari semua agama, karena kasih merupakan salah satu materi yang diajarkan dari setiap agama yang diaplikasikan dengan berbuat baik. Ada beberapa materi yang relevan namum materi ini dianggap cukup merepresentasikan materi-materi yang lain. Materi ini juga dipandang Realitas dari pluralisme Masyarakat Indonesia yang  majemuk yang sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing agama yaitu mengajarkan cinta kasih yang walupun dengan istilah dan dasar kitab yang berbeda dari masing-masing agama, namun dapat dipastikan akan bermuara ke satu titik yaitu membawa setiap umat yang dalam hal ini ialah perseta didik untuk hidup dalam kebaikan dan menunjukkan perbuatan baik dalam hidupnya sehari-hari.
            Mengadakan kelas kebersamaan merupakan hal yang menarik untuk dikerjakan, apabila disekolah tersebut terdapat beberapa guru agama yang berbeda maka kelas kebersamaan merupakan pilihan yang tepat untuk dikerjakan dalam memupuk rasa anti diskriminatif, akan tetapi jika sekolah tersebut tidak memiliki beberapa guru agama yang berbeda maka hal ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam menumbuh kembangkan rasa anti diskrimintaif. Pengalaman penulis mengadakan kelas kebersamaan bersama dengan sahabat guru agama seperti Bapak Agus Rizal, SH.I, M.Pd.I yang merupakan guru agama Islam, Bapak Berlim M.Pd sebagai guru Agama Budha dan Bapak I Wayan Sura, S Ag sebagai guru Agama Hindu. Dalam Kelas kebersamaan tersebut setiap guru agama secara bergantian memberikan materi berupa motivasi.
Bapak I Wayan Sura, S Ag sebagai  Guru  Agama Hindu menyatakan bahwa Ajaran cinta kasih dalam Agama Hindu dapat kita jumpai dalam Catur Paramita dan Tri Parartha. Catur Paramita terdiri dari dua kata yaitu Catur Dan Paramita, catur berarti empat dan Paramita berarti budi /akhlak yang mulia /luhur. Jadi Catur Paramita berarti ; empat akhlak mulia/empat budi luhur. Sedangkan Tri Parartha terdiri dari kata Tri dan Parartha, tri artinya  tiga dan Parartha artinya kebahagiaan, jadi Tri Parartha artinya : tiga kebajikan yang dapat membahagiakan makhluk lain. Bagian bagian  Catur Paramita terdiri dari :1. Maitri, 2. Karuna, 3.Mudita dan 4.upeksa. Tri  Parartha terdiri dari : 1.Asih, 2.Punya dan 3.Bakti. Dalam hal ini guru  agama hindu akan menyampaikan kasih menurut ajaran agama hindu akan tetapi sekaligus juga menyampaikan bahwa ajaran kasih juga diajarkan oleh agama yang lain
Penjelasan Bapak Agus Rizal, SH.I, M.Pd.I sebagai Guru  Agama Islam menyatakan bahwa ajaran RAHMAT (Kasih Sayang) dapat dilihat dalam tulisan beriku : Engkau diutus untuk mneber Rahmat bagi seluruh alam (Al Anbiya’:108). Tidak sempurna keimanan salah seorang kamu sehingga dia menyayangi saudaranya seperti menyayangi dirinya sendiri (Al Hadits). Orang yang saling menyayangi itu akan dikasihi Sang Pengasih (Ar Rahman), Kasihilah apasaja yang ada di bumi maka DIA akan menyayangi kamu (Al Hadita) dalam hal ini guru  agama islam akan menekankan bahwa bertanggung jawab mengasihi siapa saja yang ada di bumi ini tanpa memandang perbedaan yang ada seperti agama, suku, bahasa, ras dll. Bahkan dalam hal ini rasa sayang tidak hanya ditunjukkan bagi umat manusia saja akan tetapi bagi alam dan lingkungan sekitar juga tetap disayangi dengan cara menjaga serta merawat (melestarikan) lingkungan.
Penjelasana Bapak Berlim M.Pd sebagai Guru  Agama Budha mengajarkan Metta  (Cinta Kasih) yangdinayakan dalam Mettañ ca sabba-lokasmim mānasam bhāvaye aparimānam, Uddham adho ca tiriyañ ca asambādham averam asapattam. (Karaniya Metta Sutta:8). Yang berarti Kasih sayangnya kepada segenap alam semesta. Dipancarkannya melalui pikiran tanpa batas Ke atas, ke bawah dan ke sekeliling Tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan . Dalam hal ini guru  agama budha akan menekankan bahwa rasa kasih sayang harus dinyatakan tanpa melihat status sosial yang berarti rasa kasih sayang yang dimiliki serta yang ditunjukkan dengan perbuatan baik maka akan menghilanglan diskriminasi sosial yang ada, sehingga dengan demikian semua akan mahluk akan berbahagia.
Penjelasan Guru  Agama Kristen yakni penulis sendiri mengajarkan AGAPHE (agaphe) yaitu KASIH tanpa Syarat) yang terutils dalam Matius  22:37 -39 yang bunyinya Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Dalam hal ini guru  agam kristen akan menekankan bahwa hidup dalam kasih merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan dengan sepenuh hati karena hal ini merupakan perintah Tuhan. Rasa kasih yang juga merupakan inti ajaran dalam umat kristiani harus benar-benar diaplikasikan dalam hidup manusia tanpa membedakan siapapun orangnya dan latar belakang kehidupannya. Dalam hal ini guru  agam kristen akan menekankan bahwa kasih tidak membedakan gender dimana baik pria dan wanita sama di hadapan Tuhan dan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan kasih kepada setiap orang. Pembelajaran ini diakhiri dengan cara semua guru  agama yaitu agama hindu, islam, bidha dan kristen berdiri di depan kelas dan mengucapakan satu salam kebersamaan yaitu SALAM KERUKUNAN dan peserta didik menjawab SALAM.
            Guru agama dan budi pekerti merupakan salah satu guru  yang memungkin sekali untuk melaksanakan pembelajaran multikultural bagi peserta didik. Hal ini dapat dilakukan oleh setiap guru  agama yang ada disekolah, tentunya dimulai dengan adanya kesepakatan dari setiap guru  agama untuk saling bersinergi dalam mendidik peserta didik untuk berbuat baik dalam kehidupannya. Salah satu kerja sama yang saling bersinergi antar guru-guru  agama adalah dengan mengadakan kelas kebersamaan. Jika disekolah-sekolah tertentu tidak memiliki beberapa guru agama yang berbeda oleh kerena sekolah tersebut merupakan sekolah agama seperti Seminary (Sekolah Katolik) dan pesanteran (sekolah khusus Agama Islam) maka hal yang dapat dilakukan adalah mengadakan visitasi terhadap sekolah yang berbeda sehingga menghasilkan pengalaman yang baru dan memungkinkan menghilangkan steriotip yang salah terhadap sesama yang berbeda dengan kita, dan perlu dipastikan bahwa buah seseorang belajar agama ditunjukkan adanya suatu sikap atau perilaku baik terhadap semua orang sekalipun orang-orang tersebut berbeda dengan kita. Karena muara dan titik temu semua agama adalah perbuatan baik.
Dalam pembelajaran Agama, di YP Sultan Iskandar Muda yang terdiri dari 4 Guru  agama yaitu Guru  Agama Islam, Guru  Agama Kristen, Guru  Agama Budha dan Guru  Agama Hindhu. Kerap diadakan pembelajaran bersama tentunya materi pembelajaran umum yang mengarahakan anak didik berperilaku baik dan benar-benar siap dalam menapaki masa depan. Dalam hal ini setiap Guru  Agama secara bergiliran memberikan ceramah berupa pencerahan, dari pengalaman ketika melakukannya, para peserta didik sangat tertarik karena akan menerima pencerahan dari Guru  Agama yang berbeda namun mengarah kepada kebaikan.

Membangun Kebersamaan dalam Keberagaman.
Ketika hal diatas dilaksanakan dengan baik sebagai salah satu upaya menumbuh rasa kebersamaan ditengah keberagaman maka penulis mengasumsikan bahwa rasa kebersamaan akan tercipta dengan baik secara harmonis seperti yang diharapakn oleh semua pihak. Melalui pendidikan agama kita sebagai sesama ciptaan yang maha kuasa haras menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa lah yang menciptkan kepelbagaian atau keberagaman suku, bangsa, ras, budaya, geografis, agama, adat istiadat serta kebiasaan. Keberagaman itu tentu mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan dengan sesamanya di lingkungan dimana ia teinggal. Namun demikian, harkat dan martabat semua manusia dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa adalah sama dan sederajat. Oleh karena itu, setiap orang terpanggil untuk menerima dan menghargai berbagai perbedaan yang ada secara kritis dan masuk akal (rasional). Dalam bersikap terhadap keberagaman, acuannya adalah Ajaran Kasih dan kebaikan dimana semua ajaran agama mengajarkan hal Tesbut dan diharapkan oleh setiap insan manusia yang merindukan suasana yang harmonis dan juga menciptakan pribadi humanis tentunya yang dapat dibangun dengan mengadakan pertemanan dan persahabatan tanpa memandang berbagai perbedaan yang berisikan rasa simpati dan empati terhadap sesama manusia yang meruakan saudara dalam hidup dimana ia tinggal bersama.
Ketika sesama manusia tempail menjadi pribadi yang mencintai kebersamaan tanpa melihat perbedaan  ditengah keberagaman maka kita telah tampil sebagai warga negara indonesia yang sejati dengan “Bhineka Tungga Ika” nya. Karena Hidup bersama dan berbagi dengan orang lain telah lama menjadi pola hidup bangsa indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berkunjung kepada teman-teman yang berbeda keyakinan. Di hari raya Idul Fitri, orang-orang yang beragama Islam dan beragama Kristen, Hindu dan Budha mengunjungi dan mengucapkan selamat kepada teman-teman yang beragama islam dan sebaliknya di hari Natal, Depavali dan Imlek yang merupakan hari raya dari masing-masing agama Kristen, Hindu dan Budha, orang-orang yang bergama islam boleh berkunjung dan mengucapkan selamat. Salah satu kuncinya adalah adanya keberanian untuk mendengarkan dan meneriam orang lain sebagai saudara dalam keluarga besar Indoensia. Kebergamaman agama yang dianggap sebagai hal yang sentimen dalam permasalah multikultural tidak dapat dipungkuri. Namun hal tersebut jangan dijadikan alasan untuk menjauhkan dirinya dari pergaulan sosial malah sebaliknya ekistensi agama yang diajaran baik dari para pendidika agama seharusnya memampukan setiap pribadi menjadi pribadi yang humnais yang bertanggung jawab.



DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia (2015). Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.

Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia (2015). Pendidikan Agama Islam  dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.

Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia (2015). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.

Indonesia, Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia (2015). Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan.

Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (2015). Merawat Keberagaman. Praksis Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda.

Pendidikan Agama Kristen oleh Dosen Agama Kristen Trisakti Penerbit Universitas Trisakti Jakarta 2000.

PAK dalam Masyarakat Majemuk oleh Dosen STT Bethel Medan 2016.

Kompilasi peraturan perundang-undangan kerukunan hidup umat beragama edisi kelima, Jakarta Balitbanng Agama proyek peningkatan kerukunan hidup umat beragama 1996/1997.










[1] Dalam Kamus KBBI, Eksklisif menyatakan sesuatu yang khusus (terpisah dari yang lain.